
M. Rafiq Ketua Umum Persatuan Radio Siaran Swasta Nasional Indonesia (PRSSNI) meminta pemerintah mengajak diskusi dan duduk bersama semua pihak yang dikenakan royalti musik termasuk radio.
“Kita mendorong agar pemerintah, Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), semua duduk bareng, restoran, radio, dan lain-lain,” kata Rafiq, Selasa (5/8/2025) saat on air di Radio Suara Surabaya.
Alasannya karena tarif royalti yang diputuskan pemerintah dan LMKN hanya dari 2016 sampai 2019.
“Jadi kalau sekarang LMKN mengeluarkan tagihan itu tahun berapa?” ucapnya.
Sementara untuk radio, presentase tarif royalti 1,15 persen dari omzet per tahun untuk radio swasta perlu direvisi, karena dinilai memberatkan industri radio yang sudah banyak tumbang karena tergerus disrupsi digital sekaligus pandemi Covid-19.
“Karena industri radio dua kali bayar, bayar audit laporan keuangan oleh akuntan publik, baru dihitung besaran royalti dari omzet,” ungkapnya.
Padahal bagi radio non komersil hanya dikenakan Rp2 juta per tahun secara flat.
“Sebelum pandemi, anggota 800, sekarang tinggal 600. Artinya ada 200 yang mati. Kami berharap setelah pandemi membaik tapi ternyata belum. Data kami tidak sampai 10 persen yang berhasil profit dari yang ada sekarang,” bebernya.
Ia mengusulkan tarif royalti musik untuk semua radio flat per tahun dengan besaran Rp100 ribu hingga Rp1.500.000. Lalu tarif royalti musik tidak dikelompokkan berdasarkan radio komersil atau non komersil.
Sesuai UU Penyiaran, radio diklasifikasikan menjadi publik, swasta, pemerintah, dan komunitas.
“Kami sudah pernah mengusulkan, radio di kelas A (di Ibu Kota negara) bayar Rp1,5 juta per tahun, kelas B (Ibu Kota Provinsi) Rp1 juta per tahun flat, kelas C (di wilayah tingkat dua) Rp100 ribu per tahun itu kami perjuangan diusulkan 2020 sampai sekarang,” paparnya.
Usulan itu, katanya, agar tak semakin banyak radio melakukan pengurangan karyawan, mengecilkan ruangan di kantor, atau menurunkan power pemancar, hingga gulung tikar. (lta/ipg)