Rabu, 27 Agustus 2025

Kepercayaan 90,9%: Realitas atau Ilusi?

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi. Foto: AI

Survei terbaru Indonesian Social Survey (ISS) menghadirkan angka yang mencengangkan. Tingkat kepercayaan publik terhadap Presiden diklaim mencapai 90,9%, sementara kepuasan terhadap kinerja pemerintah berada di kisaran 78%.

Survei ini dilaksanakan pada 11–20 Juli 2025, melibatkan 2.200 responden dari 38 provinsi, menggunakan teknik multiple stage random sampling, dengan margin of error ±2,5% dan tingkat kepercayaan 95%. Secara metodologis, data ini tampak rapi dan siap dipajang.

Namun, di sinilah keganjilannya. Kepercayaan dan kepuasan adalah dua variabel yang berbeda. Kepercayaan cenderung merujuk pada legitimasi simbolik, apakah Presiden dianggap layak dipercaya sebagai pemimpin.

Sedangkan kepuasan lebih membumi, terkait dengan penilaian konkret atas kebijakan: apakah harga-harga terkendali, lapangan kerja tersedia, pelayanan publik berjalan. Normalnya, kepercayaan memang bisa lebih tinggi dari kepuasan, tetapi selisih yang begitu lebar—90,9% berbanding 78%—menimbulkan tanda tanya besar.

Apalagi, jika kita menengok kenyataan sehari-hari: keresahan publik soal kenaikan harga, PHK, dan tekanan biaya hidup begitu nyata di ruang digital dan pasar tradisional.

Sejarah pascareformasi juga mencatat, kepuasan terhadap presiden jarang menembus angka 80%, bahkan pada periode ketika ekonomi relatif stabil. Maka wajar bila angka kepercayaan nyaris sempurna ini terasa tidak nyambung dengan realitas sosial.

Lebih jauh, pertanyaan kunci survei ISS tampaknya lebih menekankan aspek non-ekonomi seperti rasa aman, legitimasi politik, dan simbol kepemimpinan. Dengan konstruksi pertanyaan semacam itu, hasil wajar bila bias ke arah angka “cerah.”

Responden bisa menjawab “percaya Presiden” sebagai figur, meski di rumah tangga mereka tetap merasakan tekanan ekonomi. Di sinilah potensi ilusi itu terbentuk:

“Angka kepercayaan yang tinggi bukan otomatis berarti kepuasan rakyat ikut tinggi.”

Saya juga menelusuri rekam jejak ISS. Nama lembaga ini relatif baru, dan sulit ditemukan publikasi atau survei mereka sebelum 2025. Sosok yang tampil adalah Whinda Yustisia, Direktur Eksekutif ISS, seorang akademisi Universitas Indonesia dengan reputasi kuat di bidang psikologi politik.

Kredibilitas personalnya jelas ada. Tetapi, absennya rekam jejak panjang lembaga justru mempertegas pertanyaan: apakah ISS sedang membangun reputasi independen, ataukah ia sekadar perpanjangan tangan narasi politik tertentu?

Refleksi akhirnya sederhana: angka survei memang penting, tetapi bukan kitab suci. Kepercayaan yang diukur dalam survei bisa melambung tinggi, tapi kepuasan rakyat sehari-hari tetap diukur oleh harga beras, gaji yang cukup, dan akses layanan dasar.

Jurnalisme harus berdiri di ruang itu, menerjemahkan perbedaan antara simbol dan realitas, antara data dan denyut kehidupan. Jika kepercayaan 90,9% tampak terlalu mulus, maka tugas kita adalah bertanya: apakah ini realitas, atau sekadar ilusi statistik?

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“90,9% di Atas Kertas, Rakyat di Bawah Tekanan.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Rabu, 27 Agustus 2025
32o
Kurs