
Kardiomiopati takotsubo, yang juga dikenal dengan sebutan sindrom patah hati, menyebabkan otot jantung berubah bentuk dan tiba-tiba melemah.
Kondisi ini biasanya dipicu oleh stres emosional atau fisik parah, antara lain akibat kehilangan orang yang dicintai.
Dilansir dari Antara, pasien dengan sindrom patah hati dapat mengalami gejala mirip serangan jantung dan menghadapi risiko kematian dini dua kali lipat dari populasi umum.
“Sindrom takotsubo dapat menjadi kondisi menghancurkan yang dapat memengaruhi Anda pada saat yang sangat rentan jika dipicu oleh peristiwa kehidupan besar,” kata Dr. Sonya Babu-Narayan selaku direktur klinis di British Heart Foundation, yang mendanai studi mengenai penanganan sindrom patah hati.
Kardiomiopati takotsubo belum ada obatnya. Namun, uji coba terkontrol acak yang untuk pertama kalinya dilakukan pada pasien sindrom patah hati menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif atau program latihan pemulihan jantung bisa membantu pemulihan pasien.
Menurut hasil uji coba, terapi perilaku kognitif khusus atau program latihan pemulihan jantung yang melibatkan berenang, bersepeda, dan aerobik bisa membantu pemulihan jantung pasien dengan sindrom patah hati.
Dr. David Gamble dosen klinis kardiologi dari University of Aberdeen, menyampaikan bahwa ada efek serius pada jantung yang mungkin tidak bisa kembali normal pada sindrom takotsubo.
“Pasien dapat terpengaruh selama sisa hidup mereka dan bahwa kesehatan jantung jangka panjang mereka mirip dengan orang-orang yang selamat dari serangan jantung,” katanya saat mempresentasikan hasil penelitian di kongres tahunan European Society of Cardiology di Madrid.
Penelitian mengenai penanganan sindrom patah hati melibatkan 76 pasien dengan kardiomiopati takotsubo, 91 persen di antaranya adalah perempuan, dengan rata-rata usia 66 tahun.
Pasien dibagi secara acak lalu diminta menjalani terapi perilaku kognitif (Cognitive Behavioral Therapy/CBT), program olahraga, atau perawatan standar.
Semua pasien mendapat semua perawatan dan pengobatan lain yang direkomendasikan oleh ahli jantung.
Kelompok CBT menjalani 12 sesi terapi perilaku kognitif mingguan yang dirancang khusus sesuai dengan kondisi mereka serta dukungan harian jika diperlukan.
Kelompok olahraga selama 12 minggu menjalani program olahraga, yang mencakup penggunaan sepeda statis dan treadmill, aerobik, dan berenang, dengan intensitas dan frekuensi yang ditingkatkan secara bertahap setiap minggu.
Para peneliti menggunakan teknik pencitraan canggih yang disebut spektroskopi resonansi magnetik 31P untuk mempelajari bagaimana jantung pasien memproduksi, menyimpan, dan menggunakan energi.
Pasien dalam kelompok CBT dan olahraga mengalami peningkatan signifikan dalam jumlah bahan bakar yang tersedia bagi jantung untuk memompa, yang tidak terlihat pada orang yang menjalani perawatan rutin.
Jarak rata-rata yang dapat ditempuh pasien CBT dalam enam menit meningkat dari 402 meter menjadi 458 meter.
Mereka yang mengikuti program olahraga mampu berjalan rata-rata 528 meter dalam enam menit, dibandingkan 457 meter saat awal.
Selain itu, ada peningkatan dalam VO2 max, konsumsi oksigen maksimum tubuh pada puncak olahraga, sebesar 15 persen pada kelompok CBT dan 18 persen pada kelompok olahraga.
Peningkatan jarak jalan dan VO2 max merupakan tanda perbaikan kesehatan.
Temuan itu menunjukkan bahwa perawatan dapat mendatangkan manfaat jangka panjang seperti mengurangi gejala dan risiko kematian bagi pasien dengan sindrom patah hati.
“Orang-orang mungkin tidak terlalu terkejut bahwa program latihan fisik membantu pasien jantung, tetapi menarik bahwa studi ini juga menunjukkan bahwa terapi perilaku kognitif meningkatkan fungsi jantung dan kebugaran pasien,” kata Dr. Sonya Babu-Narayan.
Ia menambahkan, penelitian lebih lanjut diperlukan untuk mengetahui apakah penerapan pendekatan ini bisa meningkatkan kelangsungan hidup atau mengatasi gejala dalam jangka panjang. (ant/ata/iss)