
Amerika Serikat (AS) kembali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB), yang menyerukan gencatan senjata segera di Jalur Gaza.
Keputusan itu diambil saat sidang bersejarah ke-10.000 DK PBB di New York, Kamis (18/9/2025), yang berlangsung di tengah krisis kelaparan dan ofensif Israel yang terus berlanjut untuk menguasai penuh Kota Gaza.
Resolusi tersebut sejatinya menuntut pembebasan seluruh sandera yang ditahan Hamas, mendesak Israel mencabut semua pembatasan masuknya bantuan kemanusiaan, serta memastikan distribusi bantuan dilakukan dengan aman, terutama melalui badan-badan PBB dan mitranya.
Morgan Ortagus Perwakilan AS dalam sidang DK PBB sebelum pemungutan suara menyatakan, bahwa penolakan Washington “tidak akan mengejutkan,” karena naskah resolusi dianggap gagal mengutuk Hamas maupun mengakui hak Israel untuk membela diri.
“Resolusi ini juga secara keliru melegitimasi narasi palsu yang menguntungkan Hamas, yang sayangnya mendapat tempat di Dewan ini,” ujarnya seperti dilansir laman PBB, Jumat (19/9/2025).
“Selain itu, resolusi ini menolak untuk mengakui dan justru ingin kembali pada sistem gagal yang hanya memperkaya Hamas di atas penderitaan warga sipil yang membutuhkan,” tambahnya.
Sebagai informasi, AS merupakan satu dari lima anggota tetap DK PBB dengan hak veto bersama empat anggota tetap lainnya, yakni Rusia, Tiongkok, Prancis, dan Inggris, yang diwariskan sejak pembentukan PBB 80 tahun lalu.
Sementara itu, 10 anggota tidak tetap dipilih oleh Majelis Umum PBB untuk masa jabatan dua tahun. Adapun draf resolusi itu diajukan oleh 10 anggota tidak tetap DK PBB, yakni Aljazair, Denmark, Yunani, Guyana, Pakistan, Panama, Korea Selatan, Sierra Leone, Slovenia, dan Somalia.
Meski digagalkan, 14 anggota Dewan lainnya mendukung resolusi tersebut. Christina Markus Lassen Duta Besar Denmark, menegaskan bahwa dunia internasional telah mengirim pesan jelas.
“Kami ingin melihat gencatan senjata segera dan berkelanjutan, pembebasan semua sandera tanpa syarat, serta pencabutan seluruh pembatasan bantuan kemanusiaan. Kami akan terus memperjuangkan hal ini, berapa pun pertemuan yang dibutuhkan,” ujarnya.
Perang di Gaza pecah pada 7 Oktober 2023 setelah Hamas dan kelompok militan Palestina menyerang Israel, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 250 orang, dengan 48 sandera masih ditahan hingga kini.
Israel pun membalas dengan beringas. Menurut otoritas kesehatan Gaza, lebih dari 65.000 warga Palestina tewas sejak agresi Israel dimulai.
Sejak krisis meletus, DK PBB telah menggelar pertemuan pertama pada 8 Oktober 2023 secara tertutup. Hingga kini, AS sudah lima kali menggunakan hak vetonya untuk menggagalkan resolusi gencatan senjata, setelah terakhir pada Juni 2025. (bil/ipg)