
Setelah hampir satu dekade, akhirnya seorang Presiden Republik Indonesia kembali berdiri di podium Sidang Umum Perserikatan Bangsa-Bangsa. Kehadiran Prabowo Subianto di New York, 23 September 2025, bukan sekadar rutinitas diplomatik, melainkan kesempatan langka: suara Indonesia kembali terdengar di panggung global, setelah sekian lama absen dari forum paling simbolik dunia.
Dalam sejarah, tak banyak kepala negara kita yang menggunakan panggung ini sebagai momentum untuk meneguhkan posisi bangsa, dan itulah yang membuat pidato ini perlu ditelaah lebih dalam, bukan hanya dari substansinya, tetapi juga dari diksi dan retorikanya.
Dari catatan kuantitatif yang dibantu kecerdasan buatan, pidato Prabowo memuat 1.455 kata. Kata-kata yang paling sering muncul setelah disaring oleh sistem kecerdasan buatan adalah: “we” (±39 kali), “our” (±22 kali), “world” (±12 kali), “must” (±11 kali), “Indonesia” (±10 kali), “UN” (±10 kali), dan “peace” (±9 kali).
Pola pengulangan ini membentuk retorika yang khas: penekanan kolektif, kebersamaan, dan urgensi moral. Pemakaian kata ganti jamak “we” dan “our” bukan kebetulan, melainkan strategi membingkai pidato bukan sebagai suara personal seorang presiden, melainkan suara kolektif bangsa dan umat manusia.
Peta diksi pidato ini bisa dipetakan ke dalam empat poros utama. Pertama, identitas dan legitimasi: Indonesia diingatkan sebagai bangsa korban kolonialisme sekaligus kini kontributor aktif. Kedua, nilai universal dan moralitas: repetisi kata “justice, equality, dignity, hope” menjadi jangkar etis. Ketiga, konflik dan perdamaian: Palestina dan Gaza hadir sebagai locus moral, dengan tawaran konkret pengerahan 20 ribu pasukan perdamaian. Keempat, pangan dan iklim: data tentang produksi beras, ketahanan pangan, dan target net zero memperlihatkan legitimasi domestik sebagai basis otoritas global.
Alur narasi pidato dibuka dengan sapaan religius dan salam lintas iman, kemudian beranjak ke narasi sejarah (kolonialisme Indonesia dan legitimasi PBB), lalu masuk ke krisis dunia (konflik, Gaza, iklim, pangan), sebelum ditutup dengan tawaran solusi dan visi moral.
Retorika yang digunakan menyatukan tiga unsur klasik: pathos (empati pada penderitaan Palestina dan anak-anak Gaza), ethos (otoritas Indonesia sebagai korban kolonialisme dan kontributor PBB), serta logos (angka produksi beras, target reforestasi, komitmen net zero). Prabowo tampak ingin menampilkan Indonesia bukan hanya sebagai negara berkembang yang menuntut, tetapi sebagai negara dengan modal moral dan modal teknis yang sanggup memberi.
Namun di balik diksi dan retorika itu, tetap ada paradoks yang tidak bisa disembunyikan: suara lantang Indonesia di podium PBB berhadapan dengan sistem global yang timpang. Palestina, yang menjadi inti moral pidato ini, masih terbelenggu oleh veto-veto Dewan Keamanan yang menafikan suara mayoritas negara. Indonesia bisa menggaungkan “we” dan “our” sebanyak puluhan kali, tetapi selama struktur PBB masih dikuasai oleh lima negara pemegang hak veto, realitasnya adalah: suara kolektif umat manusia bisa dibungkam oleh kepentingan segelintir.
Pidato ini memang memberi kita kebanggaan simbolik: bahwa Indonesia kembali bicara lantang di jantung diplomasi dunia. Tetapi pekerjaan rumahnya jauh lebih berat: bagaimana memastikan retorika “hope” yang diusung Prabowo tidak berhenti sebagai kata-kata, melainkan menjelma strategi politik luar negeri yang konsisten, terutama dalam membela Palestina dan memperjuangkan sistem global yang lebih adil. Sebab, pada akhirnya, yang akan diuji bukan berapa kali kata “we” diucapkan, melainkan seberapa kuat Indonesia berani menegakkan keadilan di panggung dunia.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Indonesia bicara ‘we’, dunia masih diatur segelintir ‘they’.”