Kamis, 25 September 2025

Wawasan Polling SS: Sebagian Besar Masyarakat Setuju Anggota DPR Harus Punya Gelar S1

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (25/9/2025). Grafis: Bram suarasurabaya.net

Beberapa waktu lalu, permohonan uji materi terkait syarat minimal pendidikan calon anggota DPR-RI kembali bergulir setelah sebelumnya tidak diterima Mahkamah Konstitusi (MK).

Dalam gugatan dengan nomor perkara 162/PUU-XXIII/2025 kali ini, para pemohon meminta kembali kepada MK agar calon DPR-RI harus berpendidikan paling rendah sarjana atau S-1.

Para pemohon menilai syarat pendidikan minimal SMA untuk calon anggota DPR, tidak sepadan dengan kewenangan konstitusional lembaga legislatif, yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Padahal para penafsir undang-undang seperti hakim, jaksa, dan advokat, justru harus memiliki gelar S1, bahkan spesifik di bidang hukum.

Meski sempat ditolak MK, nyatanya banyak masyarakat mendukung permohonan tersebut. Lewat program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (25/9/2025), sebagian besar masyarakat atau voters setuju para wakil rakyat minimal harus memiliki gelar S1.

Berdasar data polling pendengar yang dicatat Tim Gate Keeper Suara Surabaya via telepon, baik yang mengudara maupun tidak, 154 dari 192 voters (80 persen) memilih setuju anggota DPR minimal harus punya gelar S1. Sedangkan sisanya, 38 voters (20 persen), tidak setuju, dan berpendapat tak masalah anggota DPR hanya berijazah SMA asal berintegritas.

Kecenderungan masyarakat setuju anggota DPR minimal harus berijazah S1 juga terungkap dari data polling instagram Suara Surabaya Media. Sebanyak 976 dari 1.034 voters (94 persen) memilih setuju. Sedangkan 58 voters sisanya (enam persen) tidak setuju kalau ijazah SMA harus jadi syarat menjadi anggota DPR.

Pandangan Perludem

Menurut Iqbal Kholidin, Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), dorongan publik agar anggota DPR minimal memiliki gelar S1 itu lahir dari keresahan atas kualitas kinerja legislatif yang kerap dianggap kurang maksimal.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pembatasan syarat pendidikan bisa berpotensi mengurangi ruang keterwakilan politik.

“Kalau kita lihat memang salah satu faktor yang menentukan kualitas dewan adalah latar belakang pendidikan. Tapi kalau misalnya dijadikan syarat minimal S1, ada kekhawatiran membatasi ruang pencalonan. Karena representasi itu sebetulnya hak rakyat, siapa pun yang dicalonkan,” jelas Iqbal dalam program Wawasan Polling, Kamis (25/9/2025).

Iqbal menambahkan, seharusnya peran terbesar ada di partai politik (Parpol) sebagai pintu masuk calon wakil rakyat. Karena itu, partai harus berani melakukan rekrutmen dan kaderisasi berbasis kapasitas dan kualitas, bukan hanya sekadar formalitas administratif.

Ketika parpol serius dalam kaderisasinya, meskipun yang dicalonkan notabene lulusan SMA, partai bisa meningkatkan kapasitas yang bersangkutan.

Meski begitu, Iqbal tidak menampik bahwa latar pendidikan tetap berpengaruh pada kinerja legislatif. Terutama dalam proses legislasi yang membutuhkan kemampuan analisis, riset, serta penyusunan naskah akademik.

“Secara aspek kualitas kinerja, pendidikan memang mempengaruhi. Karena dalam proses legislasi dibutuhkan analytical thinking, riset, dan kemampuan membaca peta masalah. Tapi pendidikan tinggi juga bukan jaminan. Ada juga yang S1 bahkan S2, tapi integritasnya rendah,” ujarnya.

Iqbal menekankan, masyarakat berhak mendorong standar pendidikan lebih tinggi untuk calon legislatif. Namun, mekanisme penyaringan sebaiknya tidak semata-mata mengandalkan regulasi, melainkan juga melalui sistem internal partai yang demokratis dan berbasis merit.

“Bagi kami, yang lebih penting adalah bagaimana ada mekanisme penilaian alternatif dari internal partai. Misalnya, meskipun lulusan SMA, tapi punya pengalaman kaderisasi minimal lima tahun, itu bisa jadi indikator kualitas,” katanya.

Perludem sendiri saat ini sedang menyiapkan naskah usulan revisi undang-undang pemilu melalui sistem kodifikasi. Iqbal menyebut salah satu poin penting adalah mendorong agar calon legislatif wajib mempublikasikan latar belakang pendidikannya agar pemilih bisa menilai secara terbuka.

“Pemilih bisa menilai. Misalnya ada yang lebih memilih calon lulusan S1 dibanding SMA. Itu sah-sah saja, karena preferensi publik juga penting dalam demokrasi,” tutup Iqbal. (bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Kamis, 25 September 2025
32o
Kurs