Senin, 29 September 2025

Istana yang Gelisah pada Pertanyaan

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi pencabutan ID Pers.

Berita tentang Istana yang mencabut kartu liputan seorang jurnalis CNN karena pertanyaan kritisnya adalah tanda yang lebih besar daripada sekadar insiden administratif. Aliansi Jurnalis Independen menyebut langkah ini sebagai “bentuk pembungkaman terhadap jurnalis yang menanyakan hal publik.”

Sebuah cermin pola pikir kekuasaan yang mulai melihat kebebasan pers bukan lagi sebagai fondasi demokrasi, melainkan sebagai gangguan yang harus dikelola.

Dari sebuah kartu yang ditarik, publik bisa membaca bagaimana relasi negara dengan pers kian ringkih. LBH Pers menegaskan bahwa akses liputan “adalah hak konstitusional, bukan privilese yang bisa dicabut seketika oleh kekuasaan.”

Sejak Reformasi 1998, Indonesia pernah merasakan euforia kemerdekaan pers. Lahirnya UU Pers Nomor 40 Tahun 1999 menjadi tonggak: pers bebas dari sensor, pembredelan, dan tekanan politik. Dewan Pers bahkan mencatat pada awal 2000-an, di masa Gus Dur, “pers benar-benar menjadi mitra demokrasi, bukan lawan.”

Megawati meneruskan dengan lebih hati-hati, tetapi tanpa catatan besar pembredelan. Majalah Tempo saat itu menuliskan bahwa “masa Megawati tidak menandai ancaman serius terhadap pers, meski hubungan pemerintah dan media tidak selalu hangat.” Sementara itu, Harian Kompas waktu itu menilai di era SBY “gaya teknokratik membuat hubungan dengan pers lebih formal, tetapi garis kebebasan tetap terjaga.”

Lalu datang Jokowi, yang dalam satu dekade pemerintahannya melahirkan pola pelanggaran berbeda. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) menyebut UU ITE sebagai “senjata ampuh untuk membungkam, dengan pasal karet yang menjadikan kritik bisa berujung penjara.”

AJI Jakarta menambahkan bahwa serangan digital dan praktik doxing terhadap jurnalis “menjadi keseharian yang dibiarkan tanpa penindakan serius.” Tempo sendiri pernah menjadi korban, menerima paket berisi kepala babi dan bangkai tikus, sebuah pesan teror simbolik yang mengancam independensi.

Di sisi lain, Remotivi menulis bahwa ekosistem media makin tersudut: “algoritma platform membuat berita receh lebih menguntungkan daripada liputan mendalam, sementara pemerintah lebih memilih merangkul influencer untuk membentuk opini publik.” Atas kondisi itu, Indeks Kebebasan Pers 2024 yang dirilis Reporters Without Borders menempatkan Indonesia di peringkat 111, salah satu sinyal nyata bahwa kebebasan pers di era Jokowi mengalami kemunduran signifikan.

Prabowo, sebelum menjadi presiden, sudah memperlihatkan kecenderungan serupa. The Conversation, sebuah proyek jurnalisme nirlaba global yang mempertemukan editor profesional dengan akademisi menyoroti bagaimana kampanye Prabowo lebih mengandalkan influencer TikTok dan narasi visual singkat daripada menjawab pertanyaan kritis media.

Kini setelah menjabat, CNN Indonesia melaporkan kasus pencabutan kartu liputan wartawannya sebagai “isyarat awal intervensi langsung Istana,” berbeda dari Jokowi yang lebih sering membiarkan buzzer atau aparat hukum bekerja di belakang layar.

Kesamaan Jokowi dan Prabowo terletak pada sikap preferensial terhadap influencer. Indonesia Corruption Watch (ICW) pernah mengungkap bahwa pemerintah mengalokasikan anggaran besar untuk jasa influencer, memperlakukan mereka sebagai mitra strategis dalam mengelola opini publik.

Sementara media jurnalistik sering dianggap merepotkan, penuh etika dan kontrol, sehingga tak jarang dipersekusi. Bedanya, Jokowi membangun arsitektur sistemik lewat UU ITE, buzzer, sensor internal media. Sedangkan Prabowo condong pada tindakan eksekutif langsung, lebih kasar, lebih kasatmata.

Bahaya dari semua pola ini tetap sama: publik kehilangan jaminan informasi yang akurat, independen, dan kritis. Demokrasi tereduksi menjadi panggung retorika satu arah. Amnesty International sudah mengingatkan, “tanpa jurnalisme yang kuat, kebijakan publik rentan salah arah karena hilangnya koreksi.”

Dan bagi jurnalis, pesan reflektifnya tetap abadi: jangan menyerah pada ancaman politik maupun keputusasaan ekonomi. Resiliensi dan kesetiaan pada etika adalah benteng terakhir untuk menjaga agar publik tetap punya pembelaan, meski negara dan pasar bersekutu melawan suara kritis.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Kebebasan pers tidak lahir dari kemurahan hati penguasa, tapi dari hak rakyat yang tak bisa dicabut.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Senin, 29 September 2025
33o
Kurs