
Kementerian Lingkungan Hidup melalui Badan Pengendalian Lingkungan Hidup (KLH/BPLH) dan Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa menggelar Rapat Kerja Teknis (Rakernis) Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Brantas berbasis lanskap di Sidoarjo, pertengahan September lalu.
Rakernis ini dihadiri 70 peserta dari berbagai unsur, mulai dari KLH, pemerintah provinsi dan kabupaten/kota di sepanjang DAS Brantas, hingga akademisi dari Universitas Brawijaya dan Universitas Airlangga.
Rakernis membahas kondisi kritis DAS Brantas yang mengalami pencemaran sedang hingga berat, sedimentasi tinggi, serta degradasi lingkungan akibat erosi, limbah domestik, dan kerusakan hutan.
Emil Dardak Wakil Gubernur Jawa Timur menekankan pentingnya pengelolaan DAS sebagai prioritas, dengan mendorong sistem limbah terpadu, penggunaan sensor kualitas air, dan koordinasi lintas sektor. Rakernis menghasilkan strategi penguatan tata kelola berbasis data, pemetaan spasial, dan pendekatan ekosistem, serta menekankan perlunya partisipasi publik dalam menjaga kelestarian DAS Brantas secara menyeluruh.
Sonny Kristianto Dosen Environmental Biology, Environmental Sustainability, Climate Disasters, Air Pollution program Pascasarjana Universitas Airlangga (Unair), menjadi salah satu dari dua akademisi yang hadir dalam Rakernis itu.
Dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya pada Rabu (1/10/2025), permasalahan DAS Brantas ini cukup kompleks sehingga penanganannya harus terintegrasi antarinstansi.
Sonny menjelaskan, Rakernis yang dipimpin langsung oleh Emil Dardak tersebut membahas berbagai persoalan, antara lain alih fungsi lahan di hulu yang berdampak pada kualitas air dan sedimentasi. Selain itu, limbah domestik dan peternakan yang disebutnya menjadi penyumbang pencemaran terbesar.
“Ternyata dari hasil yang memang sudah dianalisis, kualitas air di DAS Sungai Brantas itu sebagian besar dipengaruhi oleh limbah domestik dan limbah dari peternakan. Intinya bukan dari perusahaan. Jadi sumbangsih terbesar itu adalah limbah domestik,” terang Sonny, Rabu pagi.
Kemudian untuk alih fungsi lahan, lanjut Sonny, telah dilakukan reboisasi penanaman pohon di sekitar bantaran sungai dan di bekas-bekas pertambangan.
Dan itu ee apa penjelasan dari Pak Emil Dardak kemudian bagaimana respon dari Pusdaluh apakah dirasa sudah cukup atau masih apa-apa ada banyak yang kurang begitu kah Pak Soni?
Sonny menambahkan, Rakernis selanjutnya akan melibatkan empat kementerian. Sebab penanganan masalah ini memerlukan kerja sama lintas sektor, bukan hanya satu instansi saja.
Untuk permasalahan di hulu, Sonny menyebut bahwaq upaya yang dilakukan Dinas Kehutanan hanya mampu mengatasi sekitar empat persen dari kerusakan lahan yang mencapai 76 persen. Oleh sebab itu, diperlukan integrasi dan gotong royong antarinstansi dengan anggaran yang berbeda-beda, untuk mengatasi masalah ini.
Selain itu, Pusat Pengendalian Lingkungan Hidup (Pusdal LH) Jawa juga berencana melakukan penghijauan kembali karena hal ini berpengaruh pada sumber mata air.
“Jadi langkah-langkah yang diambil oleh mulai dari Pusdal dan dinas-dinas terkait ini memang sudah mulai mengerucut ya, yaitu kesadaran untuk menjaga lingkungan ini secara bersama-sama,” terangnya.
Sonny pun menyorot masalah tata kelola. Menurutnya, masih terdapat kendala integrasi data antara provinsi, daerah, dan Jasa Tirta yang masing-masing memiliki data sendiri terkait kondisi kualitas air secara real-time.
“Jika semua terintegrasi dan bisa diolah, itu akan memunculkan data yang yang lebih valid,” terangnya.
Selain data yang terintegrasi, sanksi administratif juga diterapkan pada perusahaan yang melakukan pelanggaran lingkungan. Namun dalam penyusunannya harus berhati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru seperti pemutusan hubungan kerja massal.
“Ini yang ditekankan oleh Pak Wagub. Jangan sampai menyelesaikan satu masalah, lalu memunculkan masalah baru,” ujarnya.
Yang tak kalah penting adalah inovasi pengelolaan limbah. Sonny mencontohkan apa yang sudah dilakukan di Pasuruan, di mana pengelolaan limbah sudah dikembangkan dengan pemanfaatan biogas dari kotoran hewan, yang jika berhasil dapat direplikasi di kabupaten dan kota lain sebagai energi hijau.
Sonny kembali menekankan bahwa permasalahan DAS Brantas ini tidak bisa hanya dibebankan pada pemerintah, tetapi juga bisa melibatkan swasta dan NGO, dengan catatan pengawasan dan monitoring yang ketat agar hasilnya optimal. (saf/ipg)