
Fakta yang jarang diangkat ke permukaan publik adalah bahwa di Israel sendiri, atau dari warga Israel yang kini berada di luar negeri, muncul suara-suara akademik yang tajam menentang aksi militer negaranya di Gaza. Mereka bukan sekadar aktivis jalanan, melainkan profesor Holocaust, sejarawan, dan intelektual yang justru berangkat dari luka sejarah bangsanya sendiri.
Amos Goldberg, profesor Holocaust di Hebrew University, mungkin yang paling lantang. Ia menulis tanpa tedeng aling-aling: “Yes, it is genocide in Gaza.” Baginya, apa yang dilakukan Israel tidak lagi sekadar perang melawan Hamas, melainkan penghancuran sistematis terhadap kehidupan sipil: pengungsian massal, kehancuran infrastruktur rumah sakit, sekolah, universitas, hingga blokade total yang melahirkan kelaparan. Bersama Daniel Blatman, ia menegaskan bahwa meski Gaza bukan Auschwitz, pola penghancuran yang berlangsung memenuhi ciri genosida.
Demikian juga Raz Segal, sejarawan Israel yang kini mengajar di Amerika, yang menyebut Gaza sebagai “a textbook case of genocide.” Dalam pandangannya, niat penghancuran jelas terbaca dari kombinasi tindakan dan retorika resmi Israel. Omer Bartov, sejarawan lain yang juga berasal dari Israel, sampai pada kesimpulan yang sama: bahwa bangsa yang pernah menjadi korban Holocaust kini berisiko menodai sejarahnya sendiri dengan mengulangi pola pemusnahan terhadap orang lain. Suara-suara ini adalah pengingat keras bahwa istilah “genosida” bukan sekadar retorika politik, tetapi muncul dari perdebatan akademik yang serius dan penuh konsekuensi.
Namun, di kutub lain, ada akademisi yang justru memberi legitimasi intelektual pada kebijakan penghancuran Gaza. Sosok paling berpengaruh di sini adalah Uzi Rabi, profesor Studi Timur Tengah sekaligus Direktur Moshe Dayan Center di Universitas Tel Aviv. Dari ruang kuliah hingga layar televisi, ia tampil sebagai pembela logika militer Israel.
Bagi Rabi, perang di Gaza adalah perang eksistensial: jika rakyat Gaza tetap berada di utara setelah perintah evakuasi, mereka sah dianggap teroris dan pantas menerima akibatnya, termasuk kelaparan atau bahkan “extermination.” Baginya, garis pemisah antara Hamas dan warga sipil sudah kabur. Ia menilai bahwa hanya penghancuran total yang dapat mengembalikan deterrence Israel dan mencegah musuh-musuh regional memandang negara Yahudi itu sebagai lemah.
Di balik argumen akademiknya, ada bayangan panjang sejarah. Trauma kolektif Holocaust era Nazi di Perang Dunia II yang diwariskan lintas generasi: ketakutan abadi akan pemusnahan bangsa Yahudi yang diproyeksikan ulang sebagai justifikasi atas proyek politik “Israel Raya.”
Pemerintahan sayap kanan yang kini berkuasa di Israel menjadikan narasi Holocaust bukan hanya sebagai ingatan penderitaan, tetapi sebagai lisensi moral untuk menormalisasi kekerasan tanpa batas: seolah apa pun yang dilakukan Israel, betapa pun brutalnya, selalu sah karena bangsa ini “pernah hampir dimusnahkan.” Pandangan Rabi selaras dengan paradigma itu. Ia menyambungkan memori trauma dengan retorika survivalisme, dan di situlah rasionalisasi kekerasan menemukan pijakan ideologisnya.
Di antara dua kutub itu, berdiri Yuval Noah Harari, profesor sejarah dari Hebrew University yang dikenal luas lewat karya “Sapiens” dan “Deus”. Harari mengecam keras penderitaan di Gaza, menyebutnya sebagai tragedi kemanusiaan besar, sebuah kehancuran moral yang mengancam eksistensi Israel di masa depan.
Namun ia berhenti sebelum menggunakan istilah genosida. Harari lebih memilih kata-kata seperti catastrophe, horror, tragedy. Ia menyoroti risiko jangka panjang: bahwa penghancuran Gaza bukan saja menghancurkan kehidupan Palestina, tapi juga mengikis legitimasi moral Israel dan menanamkan kebencian lintas generasi. Harari meletakkan kritiknya bukan di pengadilan internasional, melainkan di ruang refleksi historis dan politik, berusaha menyadarkan bangsanya agar tidak menempuh jalan yang akan menghancurkan diri sendiri.
Spektrum ini, dari Goldberg yang menyebut genosida, Harari yang menyebut tragedi, hingga Rabi yang membenarkan penghancuran, mencerminkan pertempuran makna di dalam intelektual Israel sendiri.
Pertanyaannya, siapa yang benar? Jika kita menimbang dengan neraca moral dan hukum universal, maka pandangan Goldberg dan kawan-kawan lebih dekat pada kebenaran. Mereka sejalan dengan prinsip hukum humaniter internasional dan hati nurani manusia yang menolak kelaparan buatan, penghancuran massal, dan dehumanisasi kolektif.
Sebaliknya, pembelaan Uzi Rabi, meskipun mencerminkan rasa takut eksistensial bangsa Israel, hanyalah rasionalisasi kekerasan. Ia mungkin terdengar “benar” di telinga politik nasionalis, tetapi rapuh di hadapan hukum internasional dan sejarah moral manusia. Harari mengingatkan bahwa sejarah bukan hanya tentang bertahan hidup, tetapi tentang legitimasi dan ingatan. Sebuah bangsa mungkin bisa menang perang, tetapi bisa kehilangan jiwanya.
Maka, tugas moral kita adalah menolak normalisasi kekerasan atas nama keamanan, dan menegaskan kembali prinsip bahwa tidak ada alasan apa pun yang dapat membenarkan penghancuran sistematis terhadap sebuah populasi sipil. Sebab pada akhirnya, yang membedakan sebuah bangsa bukan hanya senjata yang dimilikinya, melainkan keberaniannya untuk berdiri di sisi kemanusiaan.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Ketika ingatan pembantaian dipakai untuk membenarkan pembantaian lain.”