Sabtu, 4 Oktober 2025

Transformasi Zionisme dan Rapuhnya Legitimasi Trauma : Membaca Gen Z

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Suvenir di Museum Holocaust, Washington DC, saat penulis berkunjung dalam program IVLP 2023. Foto: Eddy Prastyo Suara Surabaya Media

Gen Z menyingkap celah dalam narasi Zionisme. Di Eropa, Greta Thunberg memilih aksi nyata dengan mencetuskan “Global Sumud Flotilla”, sebuah aksi kemanusiaan konkret ke Gaza. Di Tel Aviv, pemuda Israel menolak wajib militer meski berisiko dipenjara. Di kampus-kampus Amerika dan Eropa, mahasiswa menuduh Israel melakukan apartheid dan genosida. Semua ini memperlihatkan satu hal: bagi generasi yang lahir jauh dari Perang Dunia II, reruntuhan Gaza yang hadir di layar ponsel terasa lebih nyata dibanding monumen Auschwitz yang diajarkan lewat buku sejarah dan museum di Amerika dan Eropa.

Holocaust tetap mereka pahami sebagai tragedi besar, namun tidak lagi menjadi kacamata tunggal dalam membaca Israel. Sejarawan Amos Goldberg menulis lugas, “Yes, it is genocide in Gaza.” Raz Segal menyebutnya “a textbook case of genocide.” Sementara Omer Bartov mengingatkan bahwa bangsa yang pernah menjadi korban pemusnahan kini berisiko menodai sejarahnya sendiri. Kritik para intelektual ini menegaskan perubahan perspektif: penderitaan masa lalu tidak bisa terus menerus menjadi lisensi untuk melanggengkan penderitaan baru.

Namun di Israel sendiri, wajah Gen Z berbeda. Sistem pendidikan dan militer masih membentuk keyakinan ekstrem bahwa dunia membenci Yahudi, sehingga satu-satunya cara bertahan adalah negara yang selalu siap menyerang lebih dulu. Uzi Rabi, profesor Tel Aviv University, merepresentasikan paradigma ini: perang Gaza baginya adalah perang eksistensial, di mana garis antara sipil dan militan sudah kabur. Dari sini lahirlah transformasi: Zionisme yang dulu bersandar pada Holocaust kini bergerak menuju Zionisme survivalis pragmatis, yang membenarkan kekerasan atas nama keberlangsungan negara.

Narasi ini tidak berhenti pada politik domestik. Elit Israel, khususnya Benjamin Netanyahu, telah menggeser legitimasi ke arah diplomasi teknologi dan klaim demokrasi. Dalam beberapa kesempatan, Netanyahu menegaskan bahwa dunia “berbondong-bondong ke Israel untuk teknologi,” dan bahwa inovasi Israel adalah aset global yang tak tergantikan. Ia juga berulang kali menyebut Israel sebagai “satu-satunya demokrasi liberal di Timur Tengah,” sebuah frasa yang diulang di forum internasional, dari PBB hingga media global. Bahkan ketika Mahkamah Pidana Internasional mengancam tindakan hukum, Netanyahu menolak dengan menyebut Israel sebagai “the Middle East’s only democracy.” Inilah contoh bagaimana Zionisme bertransformasi: bukan lagi menuntut simpati atas Holocaust, melainkan menjual relevansi sebagai pusat teknologi dan simbol demokrasi di kawasan yang penuh otoritarianisme.

Jika kita tarik ke pengalaman sejarah lain, mekanisme ini tak asing. Indonesia di era Orde Baru membangun legitimasi kekuasaan lewat trauma 1965. Film wajib, buku pelajaran, hingga ritual kenegaraan mencetak rasa takut pada komunisme lintas generasi. Trauma itu efektif menjaga rezim selama tiga dekade, tapi perlahan memudar setelah 1998, meskipun akar legitimasi moralnya masih kuat tertancap hingga sekarang karena komunisme sendiri secara global sudah menjelma menjadi kuasi kapitalisme di negara-negara yang dulu menerapkannya, kecuali di Korea Utara.

Generasi yang lahir jauh dari 1965 mulai mempertanyakan validitas narasi, dan tanpa Orde Baru sebagai penopangnya, legitimasi itu seakan kehilangan daya. Perbandingan ini tidak untuk menyamakan isi ideologi, melainkan memperlihatkan bagaimana trauma kolektif bisa dipakai sebagai alat politik, lalu merapuh seiring bergantinya generasi.

Risiko serupa kini menghantui Zionisme. Semakin jauh jarak dari Auschwitz, semakin tipis daya magis Holocaust. Sebaliknya, Gaza yang disiarkan real-time ke seluruh dunia justru menciptakan trauma kolektif baru. Dalam dua hingga tiga dekade mendatang, jika tidak bertransformasi, Zionisme akan kehilangan pijakan moral di mata publik global, meski secara geopolitik dan militer Israel tetap kuat.

Karena itu, elit Israel memproduksi narasi baru yang lebih pragmatis: Israel sebagai pusat teknologi dunia, mitra strategis Barat, dan satu-satunya demokrasi kawasan. Inilah Zionisme survivalis pragmatis, sebuah fabrikasi narasi elit politik untuk mempertahankan legitimasi di tengah erosi moral global. Dengan logika ini, Israel mencoba memastikan bahwa meski Holocaust tidak lagi “laku” sebagai justifikasi, dunia tetap membutuhkan mereka.

Tetapi pada akhirnya, narasi tidak bisa menutupi kenyataan. Amos Goldberg mengingatkan, “Genocide is not just about killing; it is about destroying the possibility of life.” Kalimat ini menegaskan bahwa legitimasi moral Zionisme sudah runtuh. Yang tersisa hanyalah legitimasi keras: senjata, ekonomi, dan aliansi geopolitik.

Sejarah Indonesia membuktikan bahwa narasi trauma bisa bertahan lama, tapi tidak selamanya. Generasi baru akan membaca ulang masa lalu, dan menilai ulang masa kini dengan mata yang lebih segar. Jika Zionisme gagal memahami ini, ia mungkin tetap bertahan sebagai kekuatan militer, tetapi kehilangan jiwanya di mata dunia. Pada titik itulah, masyarakat sipil global harus berdiri: menjaga agar legitimasi moral tetap berpihak pada kemanusiaan, bukan pada fabrikasi kekuasaan.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Narasi bisa direkayasa, tapi mata generasi baru tak bisa dibutakan.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Surabaya
Sabtu, 4 Oktober 2025
33o
Kurs