Selasa, 18 November 2025

Kisah Tiga Hari yang Menegangkan di Surabaya Sebelum Pecahnya Perang 10 November 1945

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Teatrikal Parade Surabaya Juang 2024 di depan Tugu Pahlawan, Minggu (3/11/2024). Foto: Dok suarasurabaya.net

Sebelum pecahnya perang 10 November 1945, ada tiga hari yang menurut sejahrawan jadi masa paling menegangkan dalam sejarah Kota Surabaya.

Kala itu, kota ini menjadi pusat perlawanan rakyat terhadap pasukan sekutu, yang berujung tewasnya Brigjen A.W.S. Mallaby perwira tentara Inggris dan meletusnya pertempuran besar yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.

Prof. Purnawan Basundoro, Guru Besar Sejarah Perkotaan di Departemen Ilmu Sejarah Fakultas Ilmu Budaya Universitas Airlangga (Unair) Surabaya mengatakan, puncak pertempuran 10 November sendiri sebetulnya berawal dari serangkaian peristiwa yang terjadi pada 28 hingga 30 Oktober 1945.

“Jadi ini kan terkait dengan pertempuran tiga hari yang terjadi pada tanggal 28 sampai 30 Oktober 1945. Mengapa pertempuran 10 November itu meletus? Itu diawali dengan peristiwa tanggal 27 Oktober,” ujar Basundoro saat mengisi program Semanggi Suroboyo di Radio Suara Surabaya, Jumat (7/11/2025).

Kala itu, pada 27 Oktober, pasukan sekutu dalam hal ini Inggris, menyebarkan selebaran yang isinya melarang masyarakat Surabaya membawa senjata.

Tindakan pasukan sekutu itulah yang kemudian membuat masyarakat Surabaya curiga. “Jangan-jangan Inggris ini sebenarnya membawa pasukan Belanda yang ingin menjajah kembali Indonesia,” ujarnya.

Kecurigaan itulah yang kemudian memantik reaksi masyarakat Surabaya untuk melakukan perlawanan. Tepatnya pada tanggal 28 Oktober, Arek-Arek Suroboyo pun bersiap menghadang pasukan Inggris yang turun dari kapal di kawasan Pelabuhan Tanjung Perak.

“Inilah yang benar-benar memantik reaksi dari masyarakat Surabaya sehingga mereka melakukan perlawanan. Nah, perlawanan ini semakin berkobar sehingga Inggris ini merasa waduh kalau begini bisa-bisa kami habis,” ceritanya.

Alhasil, terjadi pertempuran sengit 29 Oktober yang membuat pihak sekutu di Surabaya kewalahan. Hal ini juga yang akhirnya membuat Jenderal D.C. Hawthorn salah satu komandan pasukan sekutu meminta bantuan Soekarno Presiden (Bung Karno) yang saat itu di Jakarta, agar datang ke Surabaya untuk menenangkan dan meredam masyarakat Kota Surabaya.

Selanjutnya pada tanggal 29 Oktober, Bung Karno ditemani Bung Hatta Wakil Presiden dan Amir Syarifuddin Menteri Penerangan terbang ke Surabaya, mendarat di Pangkalan Udara Morokrembangan.

Setibanya di Surabaya, mereka kemudian berunding dengan pimpinan pasukan sekutu, sembari berkeliling untuk menenangkan masyarakat. Adapun beberapa poin yang disepakati saat itu oleh Bung Karno dengan pimpinan tentara sekutu di Surabaya, yang pertama yakni penghentian tembak-menembak.

“Jadi jangan sampai tembak-menembak itu dilanjutkan ya. Karena dengan alasan bahwa pasukan sekutu pada saat itu memang bertugas bukan hanya menjaga (Surabaya) tapi membereskan tentara Jepang yang sudahmenyerah waktu itu ya,” bebernya.

Kesepakatan kedua, lalu lintas di Kota Surabaya tidak boleh terganggu dan harus berjalan tertib. Serta yang ketiga, ada kebebasan pengambilan jenazah korban dari perang tanggal 28 oleh pihak keluarga, untuk dibersihkan dan dimakamkan dengan sempurna.

Prof. Basundoro mengungkapkan, sebetulnya, pada tanggal 30 Oktober juga sempat ada perundingan lanjutan di kantor Gubernur Jawa Timur yang isi pembicaraannya juga sama, agar situasi dan kondisi di Surabaya tetap stabil.Namun, semua berubah ketika Bung Karno kembali ke Jakarta.

Terjadi tembak-menembak antara Arek-Arek Suroboyo dengan tentara sekutu di sekitaran Gedung Internatio, Surabaya dekat Jembatan Merah yang kini dikenal sebagai kawasan Kota Lama Surabaya.

Saat itu, di tengah pertempuran, mobil yang ditumpangi Brigjen A.W.S. Mallaby meledak dan terbakar sehingga menyebabkan sang perwira tentara Inggris itu meninggal dunia.

“Jadi tiga hari ini menjadi peristiwa yang cukup menegangkan di Kota Surabaya. Baik oleh pihak Inggris terutama ya, karena mereka tidak menyangka akan disambut dengan situasi yang semacam itu. Sementara masyarakat beserta tentara (Indonesia) bergerak, terus menganggap bahwa Inggris ini datang ke Surabaya tentu saja ada motif-motif tertentu terkait dengan Belanda yang ingin masuk lagi ke Indonesia untuk menjajah lagi,” ungkapnya.

Peristiwa itu menjadi pemicu pecahnya pertempuran besar 10 November 1945 yang menewaskan ribuan rakyat Surabaya. Menurut Prof. Basundoro, pertempuran 10 November 1945 bukan hanya sekadar peristiwa militer, tapi merupakan perlawanan semesta rakyat Surabaya.

“Kalau kita lihat dari seluruh pertempuran yang terjadi di Indonesia setelah proklamasi, pertempuran di Kota Surabaya inilah yang paling heroik. Itu bukan hanya melibatkan tentara yang waktu itu baru saja dibentuk, tetapi seluruh elemen masyarakat Kota Surabaya,” ujarnya.

Menurut Prof. Basundoro, pertempuran Surabaya menjadi luar biasa karena melibatkan semua elemen rakyat, bukan hanya tentara. Ia mencontohkan peran para pemuda, perempuan, hingga tokoh masyarakat yang turut berjuang.

“Bahkan yang perempuan seperti kisah Mbok Dar Mortir itu juga turut serta menyediakan logistik bagi para pejuang yang bertempur,” ujarnya.

Prof. Basundoro juga menyebut peran tokoh-tokoh penting seperti Gubernur Suryo, dr. Moestopo, dr. Mustopo, Mayor Jenderal (Mayjen) Yono Soewoyo, hingga Bung Tomo, yang mengobarkan semangat perlawanan rakyat Surabaya.

“Pak Moestopo itu unik. Beliau menyuruh para pejuang yang tidak punya senjata agar memakai bambu runcing yang dikasih kotoran kuda. Karena beliau dokter gigi, tahu bahwa kotoran kuda bisa menyebabkan tetanus. Jadi kalau tentara Inggris kena bambu runcing itu, bisa kena tetanus,” ceritanya.

Lebih jauh, Prof. Basundoro menilai karakter masyarakat Surabaya memang berbeda dari daerah lain. “Secara karakter masyarakat di sini itu arek yang keberaniannya luar biasa. Bonek itu kan wani. Itu jadi semboyan dan memang menjadi karakter tersendiri bagi masyarakat Surabaya,” ujarnya.

Semangat itu, kata dia, yang membuat pidato Bung Tomo menggema dan disambut rakyat dengan tekad bulat: lebih baik mati daripada dijajah kembali.

“Bung Karno berpidato dengan sangat lugas, dan masyarakat Surabaya menjawab, ‘Kami tidak akan menyerah, kami harus korbankan nyawa demi kemerdekaan bangsa Indonesia,’” tutup Prof. Basundoro. (bil/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Selasa, 18 November 2025
24o
Kurs