Universitas Ciputra (UC) Surabaya mengajak desainer muda untuk mengangkat nilai lokal di tengah pesatnya Generative Artificial Intelligence (GenAI) dalam industri kreatif global.
Susan, Dean of School of Creative Industry (SCI) UC mengatakan, AI memang mempercepat proses produksi visual, namun membawa risiko homogenisasi budaya dan estetika global.
“AI bisa menggambar lebih cepat, tapi belum tentu memahami konteks sosial dan budaya di balik desain. Di sinilah pentingnya positionality agar desainer muda tahu dari mana ia berpikir, nilai apa yang dibawa, dan siapa yang diwakili karyanya,” katanya, pada Selasa (11/11/2025).
Ia mengatakan, pendekatan pluriversality menjadi sebuah cara untuk melawan dominasi tunggal tersebut, dengan menghadirkan banyak cara berpikir, termasuk yang berakar dari budaya Nusantara.
Pihaknya membeberkan, berdasarkan data World Economic Forum (2024), sekitar 60 persen pekerjaan di industri kreatif global kini bersentuhan langsung dengan teknologi AI.
Sementara itu, laporan McKinsey (2023) mencatat bahwa lebih dari 40 persen desainer muda menggunakan generative tools seperti Midjourney atau ChatGPT dalam proses ideasi visual.
Namun, hanya sekitar 12 persen desainer di Asia Tenggara yang secara eksplisit mempertimbangkan ethical or cultural context saat menggunakan AI.
“Di sinilah urgensi topik ini, bagaimana Indonesia dengan kekayaan budaya dan keragaman nilai, bisa menawarkan pendekatan desain yang tidak terjebak pada standar global yang seragam,” katanya.
Pihaknya ingin, mahasiswa tidak hanya mahir menggunakan AI, tapi juga paham tanggung jawab sosial di balik karya yang dibuat.
“Dengan positionality dan pluriversality, mereka belajar bahwa desain adalah dialog antara manusia, budaya, dan teknologi. Isu ini lebih besar dari sekadar inovasi desain. AI memang bisa menghasilkan bentuk, tapi hanya manusia yang bisa memberi makna,” ujarnya.
Pendekatan positionality dan pluriversality, kata dia, menjadi cara UC untuk memastikan bahwa generasi muda Indonesia tidak hanya menjadi pengguna AI, tetapi juga pencipta narasi baru yang berakar pada nilai-nilai lokal.
“Dengan kata lain, mereka tidak hanya kreator teknologis, tetapi juga pemikir kritis yang menjaga nilai kemanusiaan dan identitas budaya,” ucapnya.
Seperti diketahui, langkah UC dalam menekankan pentingnya nilai lokal itu, dilakukan lewat diskusi bertajuk “The Role of Your Design Positionality and Pluriversality in the Era of GenAI” yang melibatkan mahasiswa Prodi Visual Communication Design (VCD), Architecture (ARS), Fashion Design and Business (FDB) dengan menghadirkan Fanny Suhendra, Academic Director of Partnerships, School of Design and Architecture, Swinburne University of Technology Australia.(ris/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
