Rabu, 12 November 2025

Indonesia Darurat Perundungan, Alarm Serius bagi Kesehatan Mental Remaja

Laporan oleh Muhammad Syafaruddin
Bagikan
Ilustrasi bullying atau perundungan. Foto: Pixabay

Kasus kekerasan akibat perundungan kembali mengguncang publik. Terbaru, peristiwa ledakan di Masjid SMAN 72 Jakarta menambah daftar panjang tragedi yang diduga dipicu tindakan bullying.

Insiden yang terjadi saat salat Jumat itu diduga dilakukan seorang siswa berusia 17 tahun. Pelaku disebut kerap menjadi korban perundungan dan diduga memendam rasa dendam yang berujung pada aksi nekat tersebut.

Ari Baskoro dosen di Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (FK Unair) menilai, rangkaian peristiwa ini menunjukkan bahwa Indonesia tengah menghadapi darurat perundungan.

“Fenomena ini bukan lagi sekadar kenakalan remaja, tapi sudah masuk ranah krisis sosial dan mental,” ujarnya.

Beberapa waktu terakhir, kasus serupa mencuat. Tragedi yang menimpa Timothy Anugerah Saputera mahasiswa Universitas Udayana misalnya, menjadi pengingat bahwa tindakan merundung dapat berujung kematian. Korban dilaporkan terjatuh dari lantai empat gedung kampus setelah mengalami tekanan sosial dari rekan sebayanya.

Menurut Ari Baskoro, perundungan merupakan tindakan agresif yang dilakukan individu atau kelompok dengan kekuasaan lebih besar terhadap korban yang lemah.

Tindakan itu tidak hanya berbentuk kekerasan fisik, tetapi juga bisa terjadi di dunia maya melalui penghinaan atau pelecehan digital.

“Di era digital, perundungan siber semakin mudah dilakukan. Unggahan yang mempermalukan seseorang di media sosial bisa berdampak serius pada kondisi psikologis korban,” tutur Ari Baskoro.

Ia menjelaskan, baik pelaku maupun korban perundungan sama-sama berisiko mengalami gangguan mental. Pada korban remaja, dampaknya bisa berupa kecemasan, depresi, hilangnya rasa percaya diri, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).

Tanpa intervensi dini, gejala itu dapat mengganggu fungsi sosial dan prestasi akademik korban.

“Gejala gangguan akibat bullying sering kali tidak langsung terlihat. Anak bisa sulit tidur, kehilangan selera makan, atau enggan bersosialisasi. Orang tua perlu lebih peka terhadap perubahan perilaku tersebut,” tegasnya.

Sementara itu, pelaku perundungan cenderung memiliki rasa percaya diri tinggi namun minim empati. Mereka umumnya pernah mengalami frustrasi dan memiliki kecenderungan agresif serta perilaku antisosial.

Ari Baskoro menambahkan, perkembangan otak remaja turut memengaruhi pengambilan keputusan impulsif. “Pada usia remaja, area otak yang mengatur emosi masih dominan. Karena itu, mereka lebih mudah bereaksi agresif tanpa berpikir panjang,” jelasnya.

Survei Indonesia National Adolescent Mental Health Survey (I-NAMHS) menunjukkan satu dari tiga remaja Indonesia mengalami masalah kesehatan mental. Bahkan, satu dari 20 remaja mengalami gangguan mental serius dalam 12 bulan terakhir.

Data Kementerian Kesehatan tahun 2025 juga mencatat lebih dari dua juta anak di Jakarta mengalami gangguan mental dari hasil cek kesehatan jiwa gratis.

“Angka itu memperlihatkan urgensi intervensi dini. Tidak semua korban berani melapor, padahal deteksi cepat dapat mencegah dampak jangka panjang,” kata Baskoro.

Ia menegaskan, kolaborasi semua pihak—sekolah, keluarga, dan teman sebaya—penting untuk menghentikan rantai kekerasan ini. “Perundungan adalah penyakit sosial yang bisa disembuhkan jika ada kepedulian bersama,” pungkasnya. (saf/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Rabu, 12 November 2025
30o
Kurs