Setiap tanggal 13 November, masyarakat sedunia memperingati Hari Kebaikan Sedunia atau World Kindness Day yakni, peringatan yang didedikasikan untuk menggaungkan dan merayakan aksi kebaikan. Karena, kebaikan jadi dasar dari kemanusiaan dan mampu melampaui batas ras, agama, politik, gender, dan wilayah.
Dalam rangka merayakan Hari Kebaikan Sedunia, semua orang bisa melakukan berbagai hal baik, mulai dari mengedukasi diri akan pemahaman terkait berbuat baik, menyebarkan kesadaran dan edukasi akan pentingnya kebaikan, berpartisipasi dalam kegiatan atau acara tema Hari Kebaikan Sedunia, dan mengkampanyekan peringatan Hari Kebaikan Sedunia di media sosial.
Meski begitu, di tengah semangat menyebarkan kebaikan masyarakat juga dihadapkan dengan sebaran berita negatif yang cukup masif. Pada 2024, Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) berhasil mengidentifikasi dan mengklarifikasi 1.923 konten hoaks, berita bohong, dan informasi palsu.
Pada 2025, tren penyebaran konten negatif masih terus berlanjut. Menurut Alexander Sabar Dirjen Pengawasan Ruang Digital, awal Maret 2025 lebih dari 58.000 konten negatif sudah ditindak.
Sementara dalam dunia jurnalistik, sangat dikenal paradigma “Bad News is Good News” atau berita negatif atau buruk, jadi berita yang paling menarik dan memiliki nilai jual tinggi.
Sunarto Ketua MA pernah menyampaikan, berita buruk sering kali mencerminkan kenyataan yang ada, dampak psikologis yang ditimbulkan bagi pembaca atau penonton, tidak bisa diabaikan. Apalagi di era media sosial yang serba cepat, berita buruk—termasuk kekerasan verbal dan hoaks, mudah tersebar dan bisa memperburuk kondisi mental masyarakat.
Tapi muncul juga tren jurnalisme positif, yang lebih banyak memberikan ruang bagi berita baik, dinilai jadi hal yang sangat penting dan harus diapresiasi.
Sunarto menjelaskan, paradigma “Good News is Good News”, bisa menguatkan. Berita baik tidak hanya menginspirasi, tapi juga memberi harapan dan berkontribusi, dalam membentuk psikologi positif masyarakat. Jurnalis memainkan peran besar, dalam membentuk iklim sosial yang lebih konstruktif dan produktif.
Lalu, apakah Anda lebih banyak mengonsumsi berita negatif atau positif?
Dalam diskusi di program Wawasan Polling Suara Surabaya, Kamis (13/11/2025), mayoritas masyarakat lebih memilih mengonsumsi berita positif dalam perayaan Hari Kebaikan Sedunia.
Berdasar data dari pendengar Radio Suara Surabaya yang bergabung melalui telepon dan pesan WhatsApp, sebanyak 81 persen pendengar memilih mengonsumsi berita positif dalam perayaan Hari Kebaikan Sedunia. Sedangkan 19 persen sisanya, memilih negatif.
Kemudian data dari Instagram @suarasurabayamedia, sebanyak 59 persen memilih mengonsumsi berita positif dalam perayaan Hari Kebaikan Sedunia. Sedangkan 41 persen sisanya, memilih negatif.
Mengenai pola masyarakat mengonsumsi berita negatif, menurut Nisa Kurnia Ilahiyati Dosen Komunikasi Universitas Airlangga, kecenderungan masyarakat mengonsumsi berita negatif karena secara evolusi, manusia dirancang untuk mengidentifikasi bahaya atau ancaman. Sehingga, berita negatif sama dianggap sebagai hal yang penting untuk disimak.
Selain karena faktor bawaan, pola algoritma yang dibentuk media sosial juga menjadi alasan, mengapa masyarakat lebih sering mengonsumsi berita negatif.
“Hal ini diperkuat dengan pola algoritma bekerja. Karena semakin banyak yang nge-klik, semakin banyak yang akses, semakin banyak yang share, maka algoritma akan menunjukkan ini yang penting,” katanya, saat onair di Radio Suara Surabaya, Kamis (13/11/2025).
Nisa menjelaskan, untuk membangun ekosistem yang baik antara media dan masyarakat yang mengonsumsi, perlu dilakukan secara beriringan dengan cara meningkatkan literasi masyarakat.
Menurutnya, rendahnya tingkat literasi masyarakat, membuat mereka jarang mengonsumsi informasi secara utuh dan lebih suka menonton video pendek dengan judul clickbait.
“Maka, kita harus bergerak bersama-sama. Salah satunya dengan meningkatkan literasi dari tingkat dasar seperti yang dilakukan pemerintah saat ini. Menurut saya itu adalah sebuah upaya yang baik dari sistem pendidikan kita,” ungkapnya.
Meski begitu, gerakan meningkatkan literasi ini harus diimbangi dengan lingkungan. Salah satu contoh paling dekat adalah orang tua.
“Artinya orang tua juga harus melatih anak-anaknya dan dirinya sendiri untuk tidak mencerna sebuah informasi secara mentah. Tapi kita harus membiasakan untuk melihat dari sisi yang lain. Kita harus terbiasa untuk mengkritisi suatu hal,” jelasnya.
Nisa menyadari bahwa akhir-akhir ini pemberitaan media cenderung ke arah negatif. Tapi, kembali lagi pada fungsi media yang tidak hanya memberitakan tapi juga memberikan memberikan edukasi.
“Maksudnya, jika ada pemberitaan negatif harus di-follow up atau harus ada solusi dari pemberitaan itu,” tegasnya.
Nisa menambahkan, tugas media tidak hanya menghasilkan produk jurnalistik, tapi juga menghadirkan jurnalisme problem solving.
“Media tidak hanya menyampaikan fakta as it is. Tapi kalau konsep ini bisa memunculkan keburukan di dalam masyarakat, maka lebih baik tidak cuma ditampilkan begitu saja. Tapi kita iringi dengan solusinya yang baik,” tutupnya.(kir/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
