Wacana redenominasi rupiah yang dalam beberapa tahun terakhir sudah menjadi pembicaraan publik, belakangan ini kembali mencuat dan jadi sorotan.
Ini karena wacana redenominasi rupiah masuk kedalam Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Keuangan tahun 2025-2029, sesuai dengan Peraturan Menteri Keuangan (Permenkeu) Nomor 70 tahun 2025 yang ditandatangani oleh Purbaya Yudhi Sadewa Menkeu RI.
Sekadar informasi, redenominasi adalah proses penyederhanaan nilai mata uang dengan cara menghilangkan beberapa nol dari nominal uang, tanpa mengubah nilai riil atau daya belinya.
Merespons wacana tersebut, Dr. Pwee Leng Wakil Dekan 1 School of Business and Management (SBM) Petra Christian University (PCU) turut berkomentar. Dia menilai, rencana redenominasi ini penting dan harus disambut baik, tapi persiapannya juga harus serius dan tidak tergesa-gesa.
Ia mengingatkan bahwa redenominasi bukanlah langkah spontan. Menurutnya, redenominasi adalah sebuah proses panjang yang menyangkut modernisasi sistem keuangan nasional.
“Jadi, redenominasi rupiah itu bukan hanya soal angka tetapi soal modernisasi sistem keuangan Indonesia. Tidak bisa hanya sekadar bilang angka dipotong,” ujar Dosen Manajemen Keuangan PCU itu waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (17/11/2025).
Pwee Leng juga menegaskan bahwa masyarakat perlu memahami konsep dasar redenominasi, karena kesalahpahaman publik bisa membuat kebijakan jadi gagal.
“Ini sesuatu yang serius dan mendalam. Tidak bisa hanya sekedar kita mengatakan, ‘oh angkanya dipotong.’ Bukan seperti itu. Karena ada banyak dampak. Ada biaya yang besar, ada inflasi psikologis, dan yang paling besar ini kebingungan publik,” jelasnya.
Karena itu, ia menyambut baik langkah pemerintah yang tidak gegabah dalam memutuskan kapan redenominasi harus berjalan. Transisi, kata dia harus sangat matang seiring dengan sistem yang juga siap.
Dia menuturkan bahwa salah satu hal yang sering disalahpahami masyarakat adalah anggapan bahwa menghilangkan nol berarti membuat uang “menjadi kecil”. Ini yang menurutnya harus diluruskan.
Ia juga menegaskan bahwa dukungan dan peran aktif masyarakat menjadi kunci supaya transisi ini lancar.
“Tolong pahami bahwa ini hanya penulisan ulang nilai nominal. Nominalnya saja. Tadinya tertulis Rp100.000, kalau dihilangkan tiga tertulisnya 100. Tapi kemampuan belinya nilai realnya tetap sama,” kata pengamat keuangan itu.
Sementara soal banyaknya kritik yang menyebut redenominasi berisiko memicu instabilitas, Pwee Leng mengatakan kalau sebagian besar kritik itu keliru konteks, karena menganggap redenominasi akan dilakukan sekarang.
“Itu statement beliau-beliau adalah saat sekarang. Bukan saat nanti. Ini bukan dijalankan sekarang.”
Untuk diketahui, RUU tentang Perubahan Harga Rupiah (Redenominasi) rencananya akan diselesaikan pada 2027. Namun, menurut Pwee Leng, selesai tidaknya RUU tersebut dalam tiga tahun sangat bergantung pada kualitas tim yang menyiapkan, hingga teknis pelaksanaannya.
Karenanya, dia berharap tim redenominasi itu bisa disiapkan oleh tim yang berkualifikasi, bukan seperti sekarang yang dinilainya lambat.
“Kalau timnya seperti yang sekarang ya jalannya alon-alon asal kelakon, ini enggak akan cukup. Ini harus cepat, harus tegas, tapi harus qualified,” tegasnya.
Sosialisasi, pengawasan, dan literasi publik jadi kunci
Dalam analisisnya, Dr. Pwee Leng menyebutkan bahwa proses transisi redenominasi, jika berjalan sesuai rencana, maka membutuhkan waktu 12 sampai 24 bulan pengawasan ketat setelah RUU diterbitkan. Ia juga menekankan risiko terbesar ada di sektor mikro
“Yang paling mikro ini justru fundamental. Ini yang seringkali kacau karena pembulatan harga, literasi kurang, sampai risiko uang palsu di masa transisi,” bebernya.
Ia menegaskan perlunya program literasi nasional, dual price (harga ganda) sementara, serta pengawasan pemerintah agar tidak terjadi pembulatan harga tidak wajar yang pada akhirnya memicu inflasi.
“Negara harus turun untuk memastikan ketika uang lama dibelanjakan itu adalah uang asli. Ini negara bisa bocor kalau sampai terjadi. Inflasi bisa hyper nantinya,” kata dosen manajemen keuangan itu.
Menurut Pwee Leng, redenominasi bukan sekadar estetika angka, tetapi meningkatkan efisiensi transaksi, memperbaiki administrasi fiskal, hingga menambah kepercayaan internasional terhadap rupiah.
“Ini bisa memperbaiki citra mata uang kita agar trusted di dunia internasional,” ungkapnya.
Namun ia mengingatkan bahwa manfaat itu baru dirasakan jika semua syarat dipenuhi, termasuk kestabilan ekonomi, inflasi terkendali, dan dukungan masyarakat.
“Yang harus dibuat mengerti itu masyarakat. Jangan reject terhadap sesuatu, tapi kita harus analisa apakah ini memang bermanfaat dan kapan mau diterapkan,” pungkasnya. (bil/ipg)
NOW ON AIR SSFM 100
