Di momentum Hari Guru Nasional 2025, Lia Istifhama Anggota DPD RI asal Jawa Timur kembali menegaskan pentingnya mengembalikan ruh pendidikan pada adab, penghormatan kepada guru, serta perlindungan terhadap profesi pendidik.
Mengutip pesan Rasulullah SAW tentang pentingnya menuntut ilmu dengan ketenangan, sopan santun, serta kerendahan hati kepada guru, Lia menyebut nilai itu sebagai fondasi yang tidak boleh tergerus modernisasi.
“Ilmu tidak akan membawa berkah tanpa adab dan ketundukan kepada guru,” ujar Lia, Selasa (25/11/2025) mengingatkan kembali tradisi pesantren yang sangat memuliakan peran pendidik.
Ia mencontohkan kisah KH Masykur Hasyim ayahnya yang mendapatkan restu Kiai Kholili sebelum menimba ilmu di Tambakberas, simbol bahwa restu guru merupakan fondasi spiritual perjalanan ilmu.
Selama setahun menjadi senator, Lia mengaku banyak menerima aspirasi terkait persoalan guru di lapangan. Salah satunya muncul saat pembahasan revisi UU Sisdiknas awal 2025.
Menurutnya, regulasi pendidikan harus benar-benar menyentuh persoalan struktural, bukan sekadar perubahan kosmetik.
“Masih banyak guru yang bekerja dalam kondisi rentan. Mereka dituntut mencetak generasi unggul, tapi pada saat yang sama bisa terancam kriminalisasi karena hal-hal administratif,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ning Lia ini.
Ia menambahkan, beban administrasi berlebihan membuat guru terjebak pada laporan ketimbang mendidik. Pengalamannya pribadi kehilangan 10 bulan tunjangan profesi saat masa Covid menjadi salah satu alasan kuat untuk mendorong perbaikan sistem.
Selain perlindungan profesi, Lia juga menyoroti isu pendidikan inklusi. Ia mendorong adanya BOS khusus untuk sekolah inklusi, agar layanan bagi peserta didik berkebutuhan khusus tidak lagi bergantung pada kemampuan sekolah masing-masing.
“Jika kita ingin menuju Indonesia Emas 2045, maka inklusi harus menjadi komitmen peradaban, bukan hanya regulasi teknis,” tegasnya.
Lia juga menekankan pentingnya kebijakan zonasi penempatan guru. Selain mengurangi risiko kecelakaan akibat perjalanan jauh, kebijakan ini dinilai mampu membangun relasi yang lebih erat antara guru, siswa, dan lingkungan sosial.
Menurutnya, guru bukan sekadar operator sistem, melainkan manusia yang juga perlu keselamatan, keseimbangan hidup, dan ruang pengabdian yang wajar.
Kembali merujuk pesan para ulama, Lia menegaskan bahwa ilmu ditransfer bukan hanya lewat metode, tetapi melalui keteladanan dan hubungan batin antara guru dan murid.
“Hari Guru bukan seremoni. Ia adalah momentum evaluasi peradaban,” ujarnya.
Lia berharap bangsa ini benar-benar menempatkan guru sebagai pilar peradaban, bukan sekadar profesi. Sebab, dari tangan gurulah lahir generasi Indonesia Emas yang berilmu, beradab, dan berkarakter.(faz/ham)
NOW ON AIR SSFM 100
