Kamis, 25 Desember 2025

Pembayaran QRIS Tunggal Dinilai Langgar Regulasi dan Hak Konsumen

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Ilustrasi transaksi Kode Respons Cepat Standar Indonesia (QRIS). Foto: BCA

Tulus Abadi, pegiat perlindungan konsumen menilai praktik merchant yang hanya melayani pembayaran menggunakan QRIS dan menolak uang tunai sebagai bentuk pelanggaran regulasi sekaligus pengabaian hak konsumen.

Hal itu disampaikan Tulus merespons viralnya video di media sosial yang memperlihatkan seorang perempuan lanjut usia ditolak membayar dengan uang tunai di sebuah gerai roti karena hanya menerima pembayaran QRIS.

“Menjadikan QRIS sebagai alat transaksi tunggal dan menolak uang cash jelas tidak dibenarkan, baik dari sisi regulasi maupun sosiologis,” kata Tulus Abadi dalam keterangannya kepada suarasurabaya.net, Kamis (25/12/2025).

Menurut Ketua Forum Konsumen Berdaya Indonesia (FKBI) itu, merujuk Undang-Undang tentang Mata Uang, uang tunai merupakan alat pembayaran yang sah di Indonesia dan wajib diterima dalam transaksi.

“Dari sisi hukum, uang adalah sarana pembayaran yang sah. Dari sisi konsumen, mereka berhak memilih menggunakan cash atau non-cash. Hak itu dilindungi Undang-Undang Perlindungan Konsumen,” tegasnya.

Tulus mengakui penggunaan QRIS dan transaksi non-tunai memang terus meningkat dan semakin diterima masyarakat, termasuk di kalangan UMKM. Namun, kondisi tersebut belum bisa dijadikan alasan untuk meniadakan pembayaran tunai.

“Transaksi non-cash secara keseluruhan baru sekitar 20 persen. Artinya, penggunaan uang tunai masih dominan. Menolak cash berarti mengabaikan realitas sosial masyarakat,” ujarnya.

Berdasarkan data, sepanjang 2024 transaksi QRIS mencapai 6,24 miliar transaksi dengan nilai Rp659,93 triliun atau tumbuh 194 persen.

Jumlah pengguna QRIS tercatat 52,55 juta dengan 33,37 juta merchant. Meski begitu, Tulus menilai angka tersebut belum cukup untuk menjadikan QRIS sebagai satu-satunya alat bayar.

Ia meminta Bank Indonesia sebagai penggagas QRIS untuk mempertegas bahwa QRIS bersifat opsional, bukan wajib. “BI harus mengingatkan merchant dan pelaku usaha bahwa QRIS itu pilihan, bukan pengganti uang tunai,” katanya.

Selain BI, Tulus juga mendorong kementerian terkait seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Koperasi dan UKM agar memberikan edukasi kepada pelaku usaha supaya tetap menyediakan opsi pembayaran tunai.

Menurutnya, Indonesia memang berpotensi menuju masyarakat tanpa uang tunai (cashless society), namun proses tersebut harus melalui masa transisi panjang dan disesuaikan dengan karakter masyarakat yang majemuk.

“Kebijakan tidak bisa disamakan dengan negara maju. Literasi digital, kondisi ekonomi, dan sosial masyarakat Indonesia sangat beragam. Itu harus jadi pertimbangan utama,” pungkas Tulus.(faz/bil/ham)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Kamis, 25 Desember 2025
26o
Kurs