Jumat, 26 Desember 2025

Mendengar Suara Batin Kota : Catatan Untuk Surabaya 2026

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan

Sejak awal berdirinya, Suara Surabaya tidak pernah memosisikan diri sekadar sebagai media penyampai informasi. Kami tumbuh sebagai hub kota, simpul komunikasi yang menghubungkan denyut kehidupan warga, pemerintah, aparat, dan ruang publik. Media ini dibangun dari keyakinan sederhana, kota yang sehat lahir dari percakapan yang jujur, terbuka, dan berani. Itulah roh dan marwah Suara Surabaya Media, menjadi titik tumpu komunikasi perkotaan yang progresif, partisipatif, dan berpihak pada akal sehat publik.

Di ruang inilah warga berbicara apa adanya. Marah, lelah, berharap, mengeluh, sekaligus menitipkan kepercayaan. Maka ketika redaksi membuka ruang question box, Selasa 23 Desember 2025 selama 24 jam tentang permasalahan kota Surabaya sepanjang 2025, kami tidak sedang mengumpulkan keluhan semata. Kami sedang mendengarkan kota. Mendengarkan suara batin warganya.

Dari 367 komentar yang masuk, kami menangkap satu nada yang sama, LELAH. Lelah dengan persoalan yang berulang, terlihat setiap hari, tapi terasa tak kunjung selesai. Komentar warga bukan ditulis dengan bahasa laporan, melainkan dengan bahasa pengalaman. Ada huruf yang dipanjangkan, ada kata yang diulang, ada nada emosi yang keras. Semua itu bukan sekadar gaya menulis. Itu penanda batin yang sedang tertekan.

Di titik ini, redaksi menyadari, yang disampaikan warga bukan hanya daftar masalah, tetapi rasa. Rasa tidak aman, rasa tidak adil, rasa dibiarkan. Terutama di ruang jalan, ruang yang paling sering bersentuhan dengan tubuh, waktu, dan uang warga.

Riset kecil ini kami lakukan dengan satu tujuan utama, MEMBACA AGENDA BATIN PUBLIK, bukan sekadar memetakan isu teknis. Kami ingin tahu, persoalan apa yang paling mengganggu hidup warga sehari hari, dan bagaimana mereka memaknainya.

Metodologi yang kami gunakan sederhana namun relevan dengan karakter datanya. Setiap komentar dianalisis sebagai satu unit, dengan pendekatan “thematic coding multi label”. Artinya, satu komentar bisa memuat lebih dari satu isu. Istilah yang berbeda kami satukan, misalnya jukir liar, pungli parkir, dan pemalakan parkir kami kelompokkan dalam isu parkir liar. Selain menghitung frekuensi isu, dibantu kecerdasan buatan, kami juga membaca sinyal emosi melalui diksi, repetisi kata, dan pilihan bahasa yang digunakan warga.

Kami sadar, data ini bukan survei statistik yang merepresentasikan seluruh penduduk Surabaya. Tapi justru di situlah kekuatannya. Ia jujur, spontan, dan memotret apa yang pertama kali keluar dari kepala warga ketika ditanya, “Apa masalah kota ini?”

Hasilnya tegas. Parkir liar muncul sebagai isu paling dominan. Sebanyak 151 dari 367 komentar, atau sekitar 41%, menyebut langsung persoalan ini. Tapi yang menarik bukan hanya jumlahnya, melainkan cara warga menyebutnya. Parkir liar tidak disebut sebagai ketidaktertiban semata, melainkan sebagai PEMALAKAN. Kata ini penting. Ia menggeser makna parkir dari urusan administrasi menjadi pengalaman ketidakadilan dan intimidasi.

Bagi warga, parkir liar bukan sekadar motor diparkir sembarangan. Ia adalah perjumpaan harian dengan rasa TIDAK AMAN, rasa TERPAKSA, dan rasa TAK BERDAYA. Terjadi di depan mata, berulang, dan sering kali dianggap tak tersentuh penertiban yang konsisten. Di titik inilah parkir liar berubah menjadi simbol, simbol LEMAHNYA KETEGASAN di ruang publik.

Isu kedua yang paling banyak muncul adalah banjir dan drainase, disebut dalam 113 komentar atau sekitar 31 persen. Lagi lagi, warga tidak memaknainya semata sebagai hujan deras. Yang muncul justru nada heran dan kecewa, “Kok masih banjir”, “Kok selalu tergenang”. Ini menandakan ekspektasi warga terhadap kapasitas kota dalam mengelola risiko rutin. Banjir dibaca sebagai kegagalan layanan dasar, terlebih karena sering hadir bersama macet dan jalan rusak, membentuk satu paket pengalaman kota yang MELELAHKAN.

Isu keamanan, mulai dari curanmor, begal, hingga premanisme, muncul dalam delapan komentar. Angkanya mungkin tidak sebesar parkir liar, tetapi bobot emosinya tinggi. Menariknya, isu ini sering muncul beriringan dengan parkir liar. Bagi warga, keduanya berada dalam satu spektrum, ketertiban yang longgar membuka ruang bagi rasa tidak aman.

Masalah kemacetan, jalan rusak, dan kualitas pedestrian juga konsisten disebut. Bukan sebagai keluhan tunggal, melainkan sebagai akumulasi yang mempertebal kelelahan. Ada warga yang dalam satu komentar menyebut banjir, macet, jalan berlubang, dan begal sekaligus. Ini menandakan sebagian warga tidak lagi melihat masalah kota sebagai isu terpisah, melainkan sebagai ekosistem yang saling memperparah.

Dari sini, redaksi menarik satu kesimpulan penting. Warga TIDAK sedang MENUNTUT KOTA yang SEMPURNA. Mereka menuntut kota yang ADIL, AMAN, dan KONSISTEN. Banyak komentar bernada, “dulu bisa beres”, atau “kok sekarang kambuh lagi”. Artinya, kritik utama bukan pada kemampuan teknis semata, tetapi pada kesinambungan kebijakan dan ketegasan penegakan.

Untuk Pemerintah Kota Surabaya, rekomendasi kami lugas. Mulailah dari isu yang paling sering bersentuhan dengan RASA WARGA, parkir liar. Bukan dengan pendekatan musiman, bukan dengan razia sesaat, tetapi dengan penertiban berbasis titik rawan, standar yang jelas, dan sanksi yang konsisten. Jika ingin digitalisasi, ukur keberhasilannya dari satu hal sederhana, apakah kata “pemalakan” masih muncul di percakapan warga atau tidak.

Penanganan banjir perlu berpindah dari narasi besar ke fokus titik. Warga akan lebih percaya pada daftar titik genangan yang ditangani satu per satu, dengan progres yang terbuka, ketimbang janji umum. Keamanan mobilitas harus diperkuat di ruang ruang yang dirasakan rawan, dengan penerangan, pengawasan, dan kehadiran aparat yang nyata. Jalan rusak, trotoar, dan transport publik membutuhkan mekanisme RESPON CEPAT YANG TERASA, bukan hanya TERCATAT.

Untuk warga Surabaya, refleksi kami juga jujur. Kota ini tidak bisa sepenuhnya diserahkan pada pemerintah. Sampah yang menyumbat saluran, budaya parkir sembarangan, dan toleransi pada pelanggaran kecil, semuanya berkontribusi. Keteraturan kota adalah KERJA BERSAMA. Melapor, menjaga, dan tidak ikut melanggar adalah bagian dari upaya kolektif itu.

Catatan ini kami tulis bukan untuk menyudutkan siapa pun. Ini adalah cermin. Cermin yang kami pegang sebagai media yang sejak awal memilih berdiri di tengah kota, mendengar dari semua arah. Suara Surabaya Media akan terus menjadi ruang percakapan, tempat keluhan bertemu solusi, tempat emosi diolah menjadi kebijakan, dan tempat kota belajar mendengar dirinya sendiri.

Karena kota yang baik bukan kota tanpa masalah, melainkan kota yang mau mendengar, mau berbenah, dan tidak mengabaikan suara warganya.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Kota yang Baik Dimulai dari Mendengar.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Jumat, 26 Desember 2025
26o
Kurs