
Konstitusi mengamanatkan sedikitnya 20 persen dari APBN harus dialokasikan untuk pendidikan. Dalam RAPBN 2026, angka itu tercatat Rp757,8 triliun, tepat 20 persen dari total belanja negara.
Sekilas, jumlah ini seperti menegaskan komitmen negara pada masa depan bangsa. Tetapi ketika ditelisik lebih dalam, ada kegelisahan yang wajar muncul dari publik. Dari total itu, Rp335 triliun atau 44,2 persen dialokasikan untuk Program Makan Bergizi Gratis.
Perbandingan dengan tahun-tahun sebelumnya memperlihatkan arah yang bergeser. Pada 2024, anggaran pendidikan berada di kisaran Rp665 triliun dengan komposisi belanja pemerintah pusat Rp297,2 triliun, transfer ke daerah Rp347,1 triliun, dan pembiayaan termasuk dana abadi pendidikan, LPDP, serta riset sebesar Rp80 triliun.
Setahun kemudian, realisasi hingga November 2025 justru menurun menjadi Rp504 triliun. Angkanya terbagi dalam belanja pusat Rp171,9 triliun, transfer ke daerah Rp317,1 triliun, dan pembiayaan yang merosot tinggal Rp15 triliun. Dari situ sudah tampak bahwa pos-pos strategis untuk riset dan pengembangan ilmu malah menyusut.
Ketika anggaran naik lagi di 2026 menjadi Rp757,8 triliun, lonjakannya justru terkonsentrasi pada MBG. Alokasi untuk program makan siang massal itu sendiri bahkan lebih besar daripada seluruh belanja pemerintah pusat untuk pendidikan pada 2025 yang hanya Rp297,2 triliun.
Padahal angka tahun lalu itu sudah mencakup Program Indonesia Pintar untuk 20,4 juta siswa, Kartu Indonesia Pintar untuk 1,1 juta mahasiswa, hingga tunjangan profesi guru non-PNS untuk hampir 500 ribu orang. Di sisi lain, anggaran untuk guru dan tenaga kependidikan di 2026 memang naik menjadi Rp178,7 triliun, tetapi tetap hanya separuh dari porsi MBG.
Kritik dari para akademisi mempertegas keresahan ini. Antun Mardiyanta, Guru Besar Unair, mengingatkan bahwa mandatory spending pendidikan adalah amanat mutlak, bukan ruang kompromi. “Semua harusnya untuk pendidikan. Kita harus melihat asbabun nuzulnya, kenapa sampai 20 persen dimasukkan dalam konstitusi: itu sangat urgent,” katanya.
Airlangga Pribadi, dosen politik Unair, menilai penggunaan anggaran pendidikan untuk MBG adalah keputusan yang kurang tepat. “Anggaran pendidikan seharusnya untuk riset, mendukung belajar-mengajar, dan menyiapkan infrastruktur. Kalau dialihkan ke MBG, orientasi utama negara dalam pendidikan tereduksi,” ujarnya.
Sementara itu, Achmad Hidayatullah, Dekan FKIP UM Surabaya, menekankan bahwa anggaran pendidikan langsung, seperti beasiswa, kesejahteraan guru dan dosen, anggaran riset, serta infrastruktur, masih terlalu kecil.
Keresahan warga sebenarnya sederhana. Masa depan anak-anak tidak hanya ditentukan oleh menu makan siang, melainkan oleh ruang kelas yang layak, guru yang sejahtera, riset yang didanai, dan akses pendidikan yang merata. Gizi memang memberi tenaga hari ini, tetapi ilmu memberi daya hidup untuk esok.
Sebagai media, kami berkepentingan menjaga agar suara publik ini tidak hilang di balik angka-angka triliunan. Kritik yang muncul bukanlah penolakan terhadap niat baik pemerintah, melainkan ajakan untuk memastikan arah kebijakan tetap tegak lurus pada amanat konstitusi: mencerdaskan kehidupan bangsa.
Anggaran pendidikan seharusnya membekali generasi untuk bersaing, bukan sekadar membuat mereka kenyang. Pertanyaannya sederhana namun mendasar: maukah kita memastikan setiap rupiah benar-benar mendidik, bukan hanya memberi makan?
Eddy Prastyo | Pemimpin Redaksi Suara Surabaya Media
“Pendidikan Itu Investasi, Bukan Konsumsi.”
#CatatanPemred