Rabu, 30 Juli 2025

Dari Utang Hingga Amanah: Rp452 Miliar dan Catatan untuk Pemkot Surabaya

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi - Balai Kota Surabaya berlokasi di Jalan Taman Surya No. 1, Ketabang, Genteng. Foto: Humas Pemkot Surabaya

Tak semua keberanian patut ditepuk. Tetapi ada keberanian yang justru lahir dari kesadaran bahwa diam bukan pilihan. Dan pada titik ini, saya menyambut positif langkah Pemerintah Kota Surabaya yang memilih maju dengan mengajukan pinjaman daerah sebesar Rp452 miliar untuk menutup defisit anggaran dalam APBD Perubahan 2025. Bukan keputusan yang ringan. Tapi juga bukan keputusan sembrono. Karena di balik semua itu, ada itikad untuk menjaga agar api pembangunan tidak padam. Agar kota ini tetap bergerak, bahkan saat angkanya minus.

APBD Surabaya tahun 2025, yang semula dirancang sebesar Rp12,3 triliun, harus menghadapi kenyataan baru. Pendapatan daerah yang semula diharapkan mengalir dari berbagai pos — termasuk bagi hasil provinsi — ternyata meleset. Realisasi pendapatan hanya diperkirakan sekitar Rp11,6 triliun. Ada defisit sekitar Rp700 miliar yang menganga. Di tengah situasi itu, utang dijadikan opsi. Bukan sebagai pelarian, tapi sebagai suntikan adrenalin untuk proyek-proyek prioritas yang sudah lama dinanti warga.

Dengan mengandalkan Bank Jatim sebagai kreditur, Pemkot mengajukan pinjaman sebesar Rp452 miliar. Tenor pinjaman dirancang agar tidak melampaui masa jabatan Wali Kota, mengikuti amanat regulasi, khususnya PP No. 56 Tahun 2018 dan UU No. 1 Tahun 2022 tentang Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Suku bunga ditaksir di kisaran 6% per tahun. Dari skema ini, cicilan pokok dan bunga akan dibayarkan melalui APBD selama tiga hingga empat tahun ke depan. Tentu saja ini menambah pos pembiayaan tetap yang wajib disediakan, bahkan ketika pendapatan belum bisa dipastikan naik.

Yang menarik — dan sekaligus mengundang tanya — adalah ke mana dana itu akan diarahkan. Dalam dokumen yang disampaikan ke DPRD, Pemkot menyebut lima proyek besar yang akan dibiayai oleh utang ini. Paling besar adalah penanganan banjir: Rp179 miliar. Lalu disusul pelebaran Jalan Wiyung (Rp130,2 miliar), pembangunan saluran diversi Gunungsari (Rp50,1 miliar), penerangan jalan umum (Rp50,2 miliar), dan pembangunan Jalan Lingkar Luar Barat atau JLLB (Rp42 miliar). Semuanya adalah kebutuhan nyata. Setiap hujan besar, kita bisa melihat bagaimana air menjadi ancaman laten di berbagai wilayah kota. Dan ketika malam turun, masih ada gang-gang sempit yang gelap, rawan, tak tersentuh lampu publik.

Namun, di balik niat baik dan justifikasi rasional atas penggunaan utang ini, kita tidak bisa menutup mata pada titik-titik kritis yang mengintai dari balik angka-angka dan niat baik.

Membaca berita dan berbagai dokumen yang saya telusuri -kebanyakan lewat peramban elektronik- setidaknya saya menemukan beberapa titik kritis dan celah (loophole) yang mungkin bisa menjadi perhatian Pemkot Surabaya agar waspada.

Titik pertama adalah problem sinkronisasi waktu antara kebutuhan anggaran dan kapasitas eksekusi. Lima proyek besar dalam satu tahun — dengan total hampir setengah triliun — bukan hal sepele. Butuh kesiapan dokumen, pembebasan lahan, proses lelang, pengawasan lapangan, dan realisasi fisik yang presisi. Salah satu proyek, yakni pelebaran Jalan Wiyung, diketahui masih menghadapi kendala pembebasan lahan. Jika tidak selesai dalam waktu yang sangat pendek, proyek bisa tertunda, dana tidak terserap, sementara bunga berjalan. Hal ini bisa menciptakan kerugian fiskal diam-diam yang sangat mahal: kita membayar untuk uang yang menganggur.

Titik kedua terletak pada struktur pendapatan yang belum stabil. Jika pendapatan daerah tahun ini saja meleset hingga Rp700 miliar, siapa yang bisa menjamin bahwa tahun depan akan lebih baik? Bahkan dengan optimisme PAD, masih banyak risiko yang membayangi: resesi global, perlambatan ekonomi nasional, kebijakan fiskal pusat yang bisa berubah sewaktu-waktu. Jika pada akhirnya pendapatan tidak cukup menutup semua kebutuhan, maka belanja wajib seperti pendidikan, kesehatan, atau program sosial bisa terpaksa dikompromikan — demi membayar cicilan utang. Ini adalah dilema moral: membayar masa lalu dengan mengorbankan kebutuhan hari ini. Untuk ini, DPRD memang sudah memasang rambu yang sangat jelas : pembayaran angsuran utang jangan sampai mengorbankan program kerakyatan.

Titik ketiga — dan ini yang paling sensitif — adalah soal integritas proses perencanaan. Rencana pinjaman ini tidak muncul sejak awal pembahasan APBD Murni. Ia muncul belakangan, nyaris di ujung pembahasan APBD-P. Sejumlah anggota DPRD bahkan menyebut rencana itu “disisipkan” tanpa diskusi publik yang memadai. Tidak ada musrenbang tematik, tidak ada publikasi rinci, tidak ada justifikasi sosial-ekonomi yang meyakinkan secara kuantitatif. Berapa titik genangan yang akan hilang? Berapa ribu warga yang akan mendapat akses penerangan? Berapa menit waktu tempuh yang bisa dihemat dari pelebaran Jalan Wiyung? Semua itu belum muncul dalam bentuk angka. Tanpa itu, proyek infrastruktur — meski sah secara prosedural — menjadi samar dalam urgensinya.

Di sini kita juga bertemu dengan celah-celah atau loophole administratif yang sangat berbahaya bila dibiarkan. Pertama, tanpa contingency plan yang rinci, dana pinjaman yang tidak terserap akan menjadi SILPA — sisa lebih anggaran yang tidak digunakan — dan bunga tetap harus dibayar. Ini bukan sekadar inefisiensi. Ini kerugian konkret.

Kedua, jika tidak dikunci secara eksplisit dalam kontrak pinjaman dan Perda APBD-P, penggunaan dana bisa digeser ke proyek-proyek yang tidak sesuai justifikasi awal — apalagi jika dikaitkan dengan tahun-tahun politik menjelang pemilu.

Ketiga, sampai saya menulis ini, belum ditemukan informasi rinci apakah setiap proyek telah memiliki cost buffer untuk mengantisipasi eskalasi harga material atau risiko sosial. Di saat harga semen, besi, dan BBM fluktuatif, proyek bernilai miliaran sangat rentan mengalami lonjakan biaya. Tanpa skema value engineering dan crisis clause, proyek bisa terancam menurun kualitasnya demi menyesuaikan dengan plafon anggaran yang tidak lagi cukup.

Keempat, keterbatasan kapasitas teknis OPD pelaksana juga menjadi ancaman tersendiri. Dalam pengalaman kita, seringkali proses realisasi proyek tidak gagal karena niat jahat, tetapi karena lemahnya detail engineering design, minimnya supervisi, atau overload dalam birokrasi.

Dan kelima — yang paling krusial — adalah soal moral fiskal. Utang ini tidak hanya soal angka dan proyek. Ia adalah pertaruhan tentang akuntabilitas kepada generasi yang akan datang. Karena utang daerah, jika tidak dilunasi tepat waktu, bisa menimbulkan sanksi fiskal dari pusat, memperburuk neraca, dan menurunkan daya tawar kota dalam mengambil kebijakan otonomi di masa depan. Apalagi jika pemimpin berikutnya tidak memiliki komitmen atau kapasitas yang sama.

Dalam konteks ini, keberanian Pemkot Surabaya harus diimbangi dengan kewaspadaan sistemik. DPRD sudah memainkan peran penting dan tepat dengan menyuarakan kehati-hatian, meski pada akhirnya tetap memberi ruang persetujuan. Tapi pengawasan tak boleh berhenti di ruang paripurna. Harus ada transparansi publik yang lebih dalam. Harus ada dashboard keterbukaan progres proyek. Harus ada audit independen yang melibatkan suara warga. Dan harus ada mekanisme pengendalian mid-term yang bisa membatalkan atau merealokasi dana jika proyek tidak berjalan sesuai target.

Saya percaya, utang bukan musuh. Ia bisa menjadi jembatan menuju peradaban yang lebih baik. Tapi ia juga bisa menjadi batu nisan jika tak dikelola dengan disiplin. Surabaya pernah dikenal sebagai kota yang nyaris tanpa utang di era Wali Kota Risma. Kini, di era baru, utang dipilih sebagai instrumen fiskal. Ini bukan kemunduran, selama kita jujur terhadap niat dan cermat dalam pelaksanaan.

Perlu dicatat bahwa secara struktur fiskal, Kota Surabaya berada dalam posisi yang relatif aman untuk mengambil skema pembiayaan ini. Dengan kapasitas fiskal tahunan yang stabil di kisaran Rp11–12 triliun dan rasio utang yang jauh di bawah ambang batas nasional, tingkat debt service ratio (DSR) Surabaya masih berada dalam kategori sangat sehat — bahkan jika cicilan pokok dan bunga pinjaman ini mencapai Rp100 miliar per tahun sekalipun, proporsinya hanya sekitar 0,8% dari total belanja daerah.

Angka ini jauh dari ambang batas kehati-hatian fiskal yang umumnya ditetapkan di bawah 10%. Artinya, selama tidak terjadi guncangan besar dalam pendapatan daerah dan Pemkot mampu menjaga efisiensi belanja, pinjaman ini bisa dilunasi dengan disiplin tanpa mengorbankan program-program layanan publik yang telah menjadi komitmen kota kepada warganya.

Maka yang dibutuhkan kini bukan sekadar persetujuan administratif, tapi konsensus etis. Bahwa Rp452 miliar itu bukan uang yang datang dari langit. Itu adalah titipan rakyat, yang harus kembali dalam bentuk air yang tak lagi menggenang, jalan yang tak lagi macet, kampung yang tak lagi gelap, dan kota yang tetap berdaya.

Dan pada akhirnya, bukan pada seberapa besar dana yang dipinjam, tapi seberapa dalam kita bisa menjawabnya dengan tanggung jawab moral, keberanian etik, dan kedisiplinan batin seorang pemimpin.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Utang bukan hanya soal membayar. Tapi soal cara kita memikulnya.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Rabu, 30 Juli 2025
27o
Kurs