
Langkah Pemerintah Kota Surabaya yang mengedarkan surat edaran tertanggal 12 Agustus 2025 oleh Badan Pendapatan Daerah, menimbulkan perdebatan. Edaran ini tentang penggunaan CCTV di sektor hotel, restoran, dan tempat hiburan publik demi mengawasi pembayaran pajak. Di satu sisi, ia tampak sebagai inovasi fiskal. Di sisi lain, terasa sebagai bayangan penguasa yang mengintip piring makan warga.
Kamera yang mestinya menjaga keamanan berubah menjadi “alat ukur” potensi pajak. Kebijakan ini bukan sekadar teknis administrasi, melainkan simbol bagaimana negara hadir dalam ruang paling privat: interaksi pelanggan dan pedagang.
Untuk memahami konteksnya, kita tidak bisa berhenti di ruang kota. Ada horizon yang lebih luas: pengetatan fiskal nasional. Defisit APBN 2025 sebesar 2,53 persen dari Produk Domestik Bruto (PDB), serta pengurangan transfer dana bagi hasil (DBH) ke daerah, menjadi latar penting. Gelombang konsolidasi ini turun ke bawah: daerah-daerah mulai menghitung ulang neracanya, mendapati defisit, dan terpaksa mencari sumber kreatif demi menutup jurang anggaran.
Surabaya pun merasakan tarikan yang sama. Ada defisit anggaran tahun ini sekitar Rp700 miliar. Untuk menutup celah itu, Surabaya memilih skema pembiayaan Bank Jatim sebesar Rp452 milyar dan intensifikasi pajak daerah, kecuali PBB. Eri Cahyadi Wali Kota sudah menegaskan, PBB tidak akan dinaikkan. Ia tidak ingin menambah beban masyarakat. Intensifikasi pajak daerah lain, terutama sektor hotel dan restoran menjadi pilihan karena dianggap masih rawan manipulasi. Di titik inilah CCTV masuk: sebagai “mata tambahan” negara untuk memastikan laporan usaha sesuai dengan kenyataan.
Namun pertanyaan besar muncul: LEGALITAS dan ETIKA. Apakah sah secara hukum merekam pengunjung tanpa persetujuan? Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi (UU No.27/2022) jelas menuntut dasar hukum yang kokoh.
BACA JUGA: Edaran Pemasangan CCTV di Tempat Usaha Surabaya, Hipmi Khawatirkan Privasi Pelanggan
Dari sisi hukum, Pemkot Surabaya memang bisa berargumen bahwa penggunaan CCTV masuk dalam kategori “kepentingan publik” untuk meningkatkan penerimaan pajak. Namun Undang-Undang Pelindungan Data Pribadi mengatur jelas: setiap pengumpulan dan pemrosesan data pribadi, termasuk citra wajah pelanggan yang terekam kamera, harus dilakukan dengan dasar hukum yang sah, transparansi, serta pembatasan tujuan yang jelas.
Artinya, pemerintah daerah wajib memberi tahu publik dan memastikan secara gamblang bahwa rekaman dipakai untuk kepentingan pajak, memastikan data tidak digunakan di luar tujuan, serta menjamin keamanan penyimpanannya. Tanpa mekanisme itu, kebijakan ini bukan hanya abu-abu secara legalitas, tapi juga rentan dipandang melanggar hak warga atas privasi. Kamera boleh menghitung jumlah orang, tapi hak konstitusional warga untuk tidak diawasi secara sewenang-wenang adalah pagar hukum yang tak boleh diterobos.
Dari sisi etika, publik berhak bertanya: kapan belanja makan malam berubah jadi objek sensor negara? Privasi bukan sekadar hak individu, melainkan fondasi kepercayaan sosial. Hilang kepercayaan, runtuh legitimasi.
Kita bisa menengok ke kota lain. Makassar pernah mencoba, hasilnya memang ada peningkatan PAD. Bangkalan baru merancang, Ambon sudah mengintegrasikan CCTV ke Command Center. Tetapi setiap eksperimen itu selalu dibayangi kontroversi: protes asosiasi pengusaha, keresahan pelanggan, bahkan tudingan melanggar hak asasi. Efektivitas teknis pun tidak sederhana. Kamera bisa rusak, jaringan bisa putus, data bisa bocor. Dan yang lebih kompleks: pengusaha bisa saja mencari cara baru untuk menghindar.
Pelaku usaha di Surabaya pun menyebut kebijakan ini berpotensi “melanggar privacy.” Ferry Setiawan Ketua Apkrindo Surabaya memberikan masukan transparansi bisa dibangun lewat sistem pelaporan yang jelas.
Denny Yan Rustanto Ketua Himpunan Pengusaha Muda (HIPMI) Surabaya pun berpendapat sama. Baginya, ketaatan membayar pajak daerah sesuai regulasi adalah sesuatu yang tidak bisa ditawar. Tapi ada satu “loophole” yang perlu dijawab Pemkot tentang kepastian perlindungan data pribadi pelanggan, karena ini berkaitan dengan aspek trust. “Kami tidak hanya menjual cita rasa dan tempat cozy, tapi juga kepercayaan pelanggan bahwa hak-haknya sebagai publik tidak dilanggar di tempat kami,” ujarnya
Pemerintah memang berhak menagih kewajiban, tapi jangan lupa: setiap kebijakan fiskal punya wajah sosial. Dan wajah itu haruslah berwibawa, bukan menyeramkan.
Pada akhirnya, kreativitas fiskal memang wajib. Daerah tidak boleh malas. Tetapi kreativitas harus berakar pada etika dan hak publik. Jangan sampai obsesi menutup defisit justru membuka luka sosial baru. Kamera bisa menghitung kepala, tapi tidak bisa menghitung kepercayaan. Sementara dalam urusan pajak, yang paling mahal justru trust itu sendiri.
Simbolnya sederhana: negara jangan berdiri di balik CCTV, mengintip warganya. Negara seharusnya berdiri di depan rakyatnya, menatap mata mereka dengan jujur, dan berkata: pajakmu kembali untukmu.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Negara jangan jadi mata-mata di meja makan.”