Kamis, 11 Desember 2025

Menata Ulang Jalan Kota: Membaca Parkir Liar Surabaya sebagai Refleksi Struktur, Bukan Soal Etnis

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi; Membaca Parkir Liar Surabaya sebagai Refleksi Struktur, Bukan Soal Etnis

Sepanjang 2025, Surabaya seperti mengulang satu cerita yang tidak pernah selesai. Penertiban parkir liar dilakukan reguler, juru parkir ilegal berkali kali diamankan, menghiasi linimasa kita. Sedangkan benturan antara pemilik usaha dengan kelompok masyarakat yang merasa memiliki hak parkirnya, secara teratur kita temukan di pemberitaan kota. Kota ini tampak sibuk membereskan masalahnya, tetapi tidak kunjung menemukan ketenangan. Setiap minggu keluhan baru muncul, seolah kita hanya menyapu daun yang selalu gugur.

Fenomena ini bukan sekadar kemacetan kecil di tepi jalan. Ia adalah permukaan dari sejarah panjang hubungan antara negara, warga, dan kekuatan informal di ruang kota. Ian Douglas Wilson, peneliti dari Murdoch University, Australia dalam bukunya “Street Politics in Indonesia: Social Movements and Democracy in Post-Suharto Era”, menelusuri premanisme di Jakarta. Dia mencatat bahwa kelompok semi-formal seperti juru parkir liar, satgas ormas, hingga “pengelola keamanan” tumbuh karena negara tidak hadir sepenuhnya dalam pengaturan ruang publik, sehingga mereka “mengisi kekosongan otoritas” dan kadang bahkan berfungsi sebagai penyedia layanan yang tidak mampu dipenuhi negara. Freek Colombijn, antropolog perkotaan dari Vrije Universiteit Amsterdam menambahkan bahwa di kota-kota besar Indonesia, ruang publik sering menjadi arena negosiasi berlapis antara ekonomi informal, patronase lokal, dan kebutuhan bertahan hidup.

Surabaya memiliki panggung sejarahnya sendiri. Kota ini egaliter, keras tetapi terbuka, dan sejak masa kolonial telah menjadi pusat mobilitas, migrasi, dan persaingan ruang. James Siegel Antropolog dari Cornell University dalam karya klasiknya “The Rope of God” pernah menulis tentang “jagoan kampung” di Jawa sebagai figur yang muncul bukan karena kekerasannya, tetapi karena kemampuannya memediasi aturan ketika negara tidak menjangkau sampai ke tanah kampung.

Dalam konteks Surabaya mutakhir, tempat ruang parkir menjadi komoditas bernilai tinggi, kita sedang menyaksikan versi modern dari fenomena lama: ketika ruang tidak diatur dengan tegas oleh negara, ia akan diatur oleh yang berani.

Karena itu, akar persoalan parkir liar tidak lahir dari administrasi pemerintahan, tetapi dari struktur sosial historis yang belum pernah benar-benar ditata. Administrasi pemerintah hanya menjadi ruang tempat masalah ini tampak di permukaan. Seperti yang ditekankan Vedi R. Hadiz Profesor Ilmu Politik dari University of Melbourne dalam kajiannya tentang politik lokal Indonesia, “Localising Power in Post-Authoritarian Indonesia: A Southeast Asia Perspective”, kekuatan informal tidak akan hilang hanya dengan aturan. Ia akan bertransformasi mengikuti celah yang disediakan oleh kelemahan institusi formal.

Di lapangan, parkir bukan hanya urusan rompi dan karcis. Ia adalah arena kecil dari pertarungan kepentingan di tingkat mikro. Ada tokoh kampung yang dihormati, ada patron yang memberi perlindungan, ada pemilik usaha yang pada praktiknya membiarkan pungutan karena menghindari konflik, dan ada pekerja informal yang menggantungkan hidup dari pendapatan harian. Ketika semua ini bertemu tanpa kerangka tata kelola yang matang, parkir liar kembali muncul meskipun sudah ditertibkan. Fenomena ini konsisten dengan temuan Colombijn bahwa ekonomi informal kota akan selalu merebut kembali ruang yang tidak dikunci oleh aturan tegas dan konsisten.

Maka kritik paling jujur bukan bahwa Pemkot kurang regulasi. Surabaya justru memiliki instrumen administratif paling lengkap di antara kota besar lainnya. Masalahnya adalah celah-celah yang terus dibiarkan terbuka. Penegakan hukum tidak seragam, koordinasi antar-OPD tidak selalu sinkron, dan digitalisasi yang diterapkan baru menghentikan praktik uang tunai tetapi belum menyentuh relasi kuasa yang mengakar. Dalam berbagai kota di Asia Tenggara, menurut Wilson, digitalisasi layanan publik memang sering gagal menghapus kekuasaan informal ketika struktur sosial yang melandasinya tidak disentuh.

Karena itu, Surabaya tidak membutuhkan lebih banyak razia, tetapi lebih banyak refleksi struktural. Parkir harus dipahami sebagai bagian dari pelayanan mobilitas kota, bukan sumber nafkah liar. Negara perlu hadir dengan cara yang lebih halus di ruang mikro: membangun narasi bahwa parkir adalah fasilitas publik; memfasilitasi pertemuan antara tokoh lokal, pemilik usaha, dan aparat; dan menciptakan mekanisme transisi bagi juru parkir informal agar dapat menjadi bagian dari sistem resmi dengan identitas baru, bukan sekadar profesi baru. Ini sejalan dengan pemikiran Siegel bahwa perubahan perilaku membutuhkan perubahan peran sosial yang diakui, bukan hanya pergantian posisi.

Di sisi pemerintah, yang dibutuhkan bukan SOP tambahan, tetapi kedewasaan governansi. Satu komando pengaturan parkir, bukan lembaga yang terfragmentasi. Kemampuan memetakan titik konflik secara real-time, bukan sekadar operasi dadakan. Disinsentif bagi pemilik usaha yang membiarkan pungli tumbuh di halamannya, bukan sekadar teguran. Dan di ranah politik lokal, keberanian yang lebih besar diperlukan untuk memutus patronase antara kelompok informal dan elite politik. Hadiz berulang kali mengingatkan bahwa ekonomi informal dan politik elektoral di Indonesia seringkali saling menopang, dan tanpa keberanian memutus simpul ini, perubahan hanya akan bersifat kosmetik.

Pada akhirnya, ada satu arus pikir yang harus menjadi kesadaran bersama: parkir bukan urusan pungutan, tetapi urusan kedaulatan kota. Siapa yang mengatur parkir, dialah yang menguasai ritme kehidupan sehari-hari Surabaya. Jika cara berpikir ini dipegang bersama, warga dan negara bisa bergerak dalam satu ritme yang sama.

Dan di sini kita perlu jernih agar kota ini tidak terperangkap dalam kesimpulan yang salah. Parkir liar bukan masalah etnis. Tidak pernah begitu. Ia adalah masalah struktur, masalah fungsi, dan masalah ruang yang terlalu lama ditinggalkan negara. Kota akan lebih damai jika ia melihat ini sebagai kesempatan untuk memperbaiki tata kelola ruang publik, memulihkan martabat kota, dan merawat hubungan antarwarga. Ketika negara, warga, dan pelaku usaha berjalan seirama, Surabaya akan menemukan kembali wajah terbaiknya: tegas, adil, dan tetap manusiawi.

Eddy Prastyo | Editornin Chief | Suara Surabaya Media

“Kota yang adil memberi ruang bagi semua, bukan bagi yang paling berani.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Macet dan Banjir di Kawasan Banyuurip-Simo

Banjir Menggenangi Sidosermo 4

Kecelakaan Bus Vs Truk Gandeng di Jembatan Suramadu

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Surabaya
Kamis, 11 Desember 2025
25o
Kurs