Selasa, 29 Juli 2025

Menunggu di SPBU: Saat Mitigasi Gagal Menyalip Realitas

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Antrean di SPBU wilayah Kabupaten Jember, Minggu (27/7/2025). Foto: Trian Prambudi via WhatsApp Suara Surabaya.

Di negeri yang sering membanggakan capaian infrastruktur nasional sebagai prestasi kebijakan, ironi justru lahir dari sebuah peristiwa yang mestinya sangat terencana: penutupan Jalur Nasional Gumitir selama dua bulan penuh demi perbaikan.

Jalur ini bukan sekadar penghubung antara Banyuwangi dan Jember; ia adalah nadi logistik timur Jawa. Saat jalur itu ditutup sejak 24 Juli 2025, yang tersumbat bukan cuma lalu lintas kendaraan, tetapi juga satu hal yang menyangkut hajat hidup dasar masyarakat: akses terhadap Bahan Bakar Minyak.

Krisis distribusi BBM yang melanda Jember, Bondowoso, dan Lumajang bukanlah sekadar konsekuensi teknis dari rekayasa lalu lintas. Ini adalah cermin nyata dari buruknya perencanaan intersektoral antara pemilik kewenangan infrastruktur dengan pihak-pihak yang seharusnya menjamin kesinambungan distribusi energi di tingkat lokal.

Sejak pekan pertama penutupan Gumitir, antrean kendaraan mengular di berbagai SPBU Jember. Solar dan Pertalite menghilang dari dispenser. Warga mengantre sejak dini hari, hanya untuk mendapati bahwa BBM habis sebelum siang datang.

Beberapa SPBU melaporkan pengosongan stok hampir setiap hari, bahkan sebelum tangki pengganti sempat datang. Di pasar gelap, harga Pertalite melambung di kisaran Rp17.000 hingga Rp22.000 per liter, angka yang menampar logika distribusi dan regulasi harga resmi.

Data dari Pertamina Patra Niaga menunjukkan bahwa kebutuhan BBM harian di wilayah Jember dan sekitarnya berkisar di angka 700 kiloliter. Jumlah ini bukan angka baru. Volume itu sudah menjadi angka dasar sejak beberapa tahun terakhir.

Maka menjadi pertanyaan krusial: mengapa ketika Gumitir ditutup, sistem distribusi tidak segera dibangun ulang dengan rute yang sudah pasti akan dilewati? Mengapa perlu lima hari setelah kelangkaan meluas, baru kemudian 79 unit mobil tangki tambahan dikirim dari Surabaya dan Malang untuk menambal lubang distribusi yang semestinya bisa diantisipasi sejak rencana perbaikan diumumkan?

Pertanyaan itu semakin tajam jika kita melihat fakta bahwa waktu tempuh normal distribusi BBM dari Banyuwangi ke Jember, sebelum Gumitir ditutup, hanya sekitar 4 jam. Ketika jalur itu ditutup dan dialihkan melalui Situbondo–Bondowoso, waktu tempuh bertambah hampir tiga kali lipat menjadi 11 jam. Ini artinya, satu kendaraan tangki hanya bisa melakukan satu siklus pengantaran dalam satu hari, bahkan tidak sampai dua kali pulang-pergi.

Seharusnya, dengan data seperti itu, jumlah armada yang disiapkan untuk rute baru sudah dihitung ulang sebelum hari pertama penutupan dilakukan. Tapi nyatanya, skenario semacam itu tak kunjung muncul di hari-hari krusial awal distribusi terganggu.

Kita menyaksikan, lagi-lagi, pola pikir manajemen krisis yang reaktif, bukan proaktif. Stakeholder terlihat lamban membaca potensi krisis. Koordinasi hanya bersifat sektoral, dan mitigasi tidak berbasis pada simulasi sistem.

Padahal, dalam kebijakan publik, distribusi energi termasuk BBM adalah bagian dari hak dasar masyarakat yang harus dijamin pemerintah. Hak atas mobilitas, hak atas akses ekonomi, dan hak atas kestabilan harga, semuanya bertumpu pada ketersediaan BBM yang merata dan dapat diakses secara adil. Ketika itu terganggu, maka yang rusak bukan hanya logistik, tapi kepercayaan publik terhadap tata kelola distribusi energi.

Tak dapat dimungkiri, ada upaya penanggulangan. Pertamina menyiapkan tambahan mobil tangki. Pemerintah daerah turun ke lapangan. Hiswana Migas menyampaikan klarifikasi. Tapi semua itu datang setelah krisis meledak, bukan saat indikator awal sudah menyala. Padahal berita tentang penutupan Gumitir sudah diketahui sejak awal Juli.

Artinya, waktu untuk menyusun skenario distribusi dan pengalihan jalur tersedia lebih dari cukup. Tapi dalam praktiknya, skenario itu tidak dirancang dengan detail, tidak diuji lewat simulasi alur kendaraan, dan tidak dikomunikasikan dengan baik ke SPBU sebagai ujung tombak distribusi.

Celakanya lagi, dalam krisis ini, tidak ada satu pun pernyataan resmi yang menyebutkan siapa yang bertanggung jawab atas gagalnya distribusi awal. Tidak ada audit atas kelembagaan, tidak ada refleksi institusional.

Narasi yang dibangun hanya menenangkan: “stok aman”, “situasi terkendali”, “masyarakat diminta tidak panik”. Tapi apakah “aman” itu berarti publik harus antre 3 jam untuk dapat 10 liter BBM? Apakah “terkendali” itu berarti harga eceran boleh naik dua kali lipat tanpa intervensi? Di titik ini, “aman” adalah eufemisme paling menyesatkan dalam kamus komunikasi publik.

Kita perlu mengingatkan bahwa BBM bukan sekadar komoditas. Ia adalah infrastruktur sosial yang menyangga akses publik terhadap pekerjaan, pangan, pendidikan, dan mobilitas ekonomi. Maka, menjamin distribusinya bukan hanya urusan teknis logistik, tapi tugas konstitusional. Ketika distribusinya gagal, yang harus dikoreksi bukan hanya jalur pengiriman, tapi sistem manajemen kebijakan publik yang selama ini terlalu percaya pada improvisasi dan keajaiban logistik.

Sebagai pemimpin redaksi di Suara Surabaya, saya memandang krisis ini sebagai pelajaran mahal bahwa Indonesia masih jauh dari kesiapan sistemik dalam menghadapi gangguan infrastruktur, even yang sudah direncanakan sekalipun. Kita terlalu sering menyepelekan perencanaan lintas sektor, terlalu lambat dalam membangun data interaktif lintas lembaga, dan terlalu malas untuk belajar dari skenario yang bisa disusun sebelumnya.

Jalur Gumitir mungkin akan kembali dibuka dalam dua bulan, tapi yang lebih penting dari itu: akankah sistem berpikir kita sebagai bangsa ikut terbuka? Ataukah kita akan kembali sibuk mengelola permukaan, sementara krisis berikutnya menunggu di tikungan berikutnya?

Jika negara ingin disebut hadir, maka ia harus hadir dalam skenario, bukan hanya dalam klarifikasi. Jika publik diminta bersabar, maka pemerintah harus lebih dulu cerdas dalam mengantisipasi. Karena yang dipertaruhkan bukan hanya BBM, tapi martabat kita dalam menjamin hak dasar warga negara. Dan untuk itu, tidak boleh ada lagi ruang kompromi.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Krisis bukan datang tiba-tiba, ia muncul dari kebiasaan negara menunda berpikir”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Selasa, 29 Juli 2025
29o
Kurs