Sabtu, 2 Agustus 2025

Oposisi dalam Sunyi: Corak Moderat PDIP di Era Prabowo dan Cermin Demokrasi Kita

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi AI

Di tengah hawa lembab Sanur yang menyelimuti Bimtek Nasional PDIP kemarin, tersiar pernyataan yang terasa lembut di permukaan namun berdampak strategis dalam lanskap politik nasional: Megawati Soekarnoputri, di hadapan ribuan legislator partainya dari seluruh Indonesia, menginstruksikan dukungan terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Bukan instruksi untuk masuk kabinet, bukan pula deklarasi oposisi keras. Melainkan arahan untuk menjadi kekuatan yang mendukung, selama pemerintahan berjalan “di atas rel yang seharusnya.” Sejak saat itu, menjadi terang bahwa PDIP, partai penguasa dua periode terakhir, memilih posisi baru: OPOSISI MODERAT yang suportif, tanpa kehilangan jarak.

Keputusan itu bukan kalkulasi instan. Ia tumbuh dari memori institusional yang panjang. PDIP bukan pemain baru dalam oposisi. Dalam dua periode pemerintahan SBY, partai ini pernah memainkan peran sebagai oposisi keras. Mengawasi, mengkritisi, bahkan menolak banyak arah kebijakan pemerintah yang dianggap menyimpang dari garis kerakyatan. Tapi oposisi waktu itu juga berlapis luka. Ada benturan relasi personal antara Megawati dan SBY, ada rasa pengkhianatan yang tidak tuntas, dan ada posisi elektoral yang masih rapuh. Maka oposisi PDIP di era itu bersuara lantang, ideologis, dan penuh tensi. Ia menyusun identitas sebagai penjaga demokrasi dari luar lingkar kekuasaan.

Dua dekade berlalu. Panggung berubah. Konstelasi elite juga tak lagi sama. Kini, saat Prabowo-Gibran mengambil alih tampuk kekuasaan, PDIP kalah. Tapi tak ada letupan emosional seperti dulu. Tidak ada pidato penolakan keras, tidak ada friksi personal. Yang ada adalah langkah hening dan penuh perhitungan. PDIP menolak masuk kabinet, tetapi juga tak menggembor-gemborkan diri sebagai oposisi dalam istilah klasik. Mereka memilih bersuara dalam cara yang lebih elegan: mendukung yang prorakyat, menolak yang menyimpang, dan menjaga independensi di tengah godaan kooptasi.

Corak oposisi ini menyimpan satu babak baru dalam demokrasi Indonesia: oposisi yang tidak meradang, tetapi menjaga. Tidak menekan, tetapi tetap mengawasi. Ia tidak frontal, tidak diam, tapi hadir dalam ruang yang lebih strategis. Dalam konteks sistem presidensial Indonesia yang tidak memberi tempat resmi bagi oposisi, langkah PDIP ini bisa dibaca sebagai bentuk loyal opposition ala Indonesia: bukan oposisi dalam arti Barat yang keras dan formal, tapi kekuatan politik di luar kekuasaan yang tetap menjaga jalannya kekuasaan agar sesuai konstitusi dan mandat rakyat.

Pola seperti ini sejatinya bukan eksklusif milik Indonesia. Saya mencoba menelusuri berita dan informasi lampau di luar batas negeri ini lewat bantuan mesin peramban dan akal imitasi (AI). Data-data terstruktur berupa jurnal, e-book, berita, dan dokumen resmi yang saya temukan itu, menunjukkan beberapa pola yang relevan dengan corak oposisi moderat a la Indonesia kini.

Di berbagai negara dengan sistem presidensial multipartai seperti Brasil, Filipina, atau Meksiko, kita menyaksikan bentuk oposisi moderat yang strategis. Di Brasil, partai oposisi sering memberi dukungan terbatas pada program-program prorakyat demi stabilitas nasional. Bahkan presiden kontroversial seperti Jair Bolsonaro, dalam tekanan parlemen, membangun kolaborasi pragmatis dengan oposisi demi menjaga pemerintahannya bertahan. Di Filipina, di tengah tradisi politik yang keras, belakangan muncul narasi baru dari tokoh-tokoh seperti Sara Duterte yang menyebut “oposisi konstruktif” sebagai jalan baru untuk tetap relevan di luar kekuasaan. Di Meksiko, partai oposisi sempat menjalin kesepakatan lintas partai dalam Pacto por Mexico, menyepakati reformasi nasional seraya tetap menjaga jarak dengan eksekutif. Bahkan di Amerika Serikat yang dua-partai, tradisi loyal opposition tetap dijaga: menjadi oposisi bukan berarti menolak segalanya, tapi tetap bertindak dalam kerangka konstitusi dan kepentingan negara.

Namun sebagaimana demokrasi mana pun, oposisi moderat bukan tanpa risiko. Dalam banyak kasus, ia menjadi jalan licin menuju kooptasi. Bila terlalu akomodatif, oposisi kehilangan taring. Bila terlalu samar, ia kehilangan diferensiasi politik di mata publik. Publik bisa sulit membedakan mana oposisi, mana bagian dari kekuasaan. Dalam kasus-kasus di Amerika Latin, kolusi antara pemerintah dan oposisi bahkan menciptakan pemerintahan tanpa koreksi yang akhirnya memperparah krisis kepercayaan terhadap sistem politik itu sendiri. Di Brasil, koalisi besar yang mencaplok oposisi menciptakan jebakan sistem patronase dan rente kekuasaan. Bahkan dalam sistem seperti Filipina, di mana partai mudah berpindah posisi, oposisi moderat kerap dibaca publik sebagai sinyal oportunisme, bukan kedewasaan.

Indonesia sendiri tak luput dari bahaya ini. Era Jokowi jilid dua dengan koalisi supergemuk menjadi contoh nyata ketika oposisi praktis menghilang, dan ruang koreksi hanya diisi oleh segelintir suara kecil yang sulit menembus dominasi narasi negara. Banyak kebijakan besar seperti UU Cipta Kerja atau revisi UU KPK berjalan tanpa koreksi memadai dari DPR. Di sinilah posisi PDIP saat ini menjadi ujian: apakah oposisi moderat yang kini dijalani akan menjaga ruh pengawasan dan keberpihakan pada rakyat, atau justru melumer menjadi kekuatan yang larut dalam harmoni kekuasaan?

Yang membuat situasi ini lebih kompleks adalah DNA politik PDIP sendiri. Partai ini lahir dari rahim kerakyatan, tumbuh dalam perlawanan terhadap otoritarianisme, dan mengakar pada semangat ideologis yang anti-neoliberal dan nasionalistik. Artinya, oposisi moderat ala PDIP tak boleh lepas dari substansi kerakyatan itu. Bila PDIP hanya menjadi oposisi yang diam karena merasa masih punya akses informal ke elite pemerintahan, maka ia justru kehilangan sumber legitimasinya. Tapi jika PDIP mampu mempraktikkan oposisi yang strategis, berbasis nilai, dan tetap kritis dalam diam, maka sejarah akan mencatat perannya sebagai penjaga jalannya negara saat kekuasaan terlampau terpusat.

Dalam banyak hal, keputusan PDIP untuk bersikap moderat dalam oposisi menunjukkan satu hal: politik Indonesia tengah bergerak menuju tahap yang lebih dewasa. Bukan lagi politik reaktif berbasis luka personal, tapi politik yang merespons realitas dan menjaga ruang keseimbangan. Namun, di tengah semua narasi harmoni ini, publik tetap punya tugas: menjaga kewaspadaan. Karena ketika suara kritis terlalu halus, ketika pengawasan terlalu tenang, ketika oposisi terlalu sopan, maka kekuasaan bisa berjalan tanpa rem.

Kita butuh partai oposisi bukan hanya sebagai pengawas anggaran atau pengkritik kebijakan. Tapi sebagai penanda moral bahwa kekuasaan tidak mutlak. Bahwa demokrasi bukan hanya tentang menang dan memerintah, tetapi juga tentang siapa yang berani memilih tidak ikut duduk, demi menjaga keseimbangan.

Karena itu, ketika PDIP memutuskan berdiri di luar kekuasaan, publik punya hak untuk mengapresiasi. Tapi juga punya hak untuk bertanya: apa yang dijaga, dan sejauh mana ia akan tetap mengawasi? Kita harus jeli membaca suara yang disampaikan lewat sunyi, dan menyadari bahwa dalam politik, diam bisa berarti setuju, bisa pula berarti siaga.

Dalam suasana politik yang semakin cair, publik dituntut lebih peka. Jangan hanya membaca siapa yang duduk di kursi kekuasaan, tapi juga siapa yang memilih berdiri. Karena kadang, justru dari yang berdiri diam itu, kekuasaan bisa kembali diingatkan: bahwa mandat rakyat bukan abadi, dan bahwa demokrasi bukan hanya panggung, tapi juga cermin.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Kekuasaan perlu oposisi, bukan karena ia buruk, tapi karena ia manusia.”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Pajero Masuk Sungai Menur Pumpungan

Kecelakaan Truk Tabrak Gardu Tol di Gate Waru Utama

Surabaya
Sabtu, 2 Agustus 2025
32o
Kurs