Sejak hujan ekstrem memicu banjir bandang dan longsor di sejumlah wilayah Sumatra pada akhir November 2025, satu kenyataan pahit segera muncul ke permukaan. Bukan hanya tentang derasnya air, tetapi tentang betapa sulitnya menembus wilayah-wilayah yang terisolasi ketika bencana terjadi secara bersamaan dan berskala luas.
Hingga beberapa hari setelah kejadian awal, masih ada daerah yang membutuhkan waktu paling panjang untuk dijangkau bantuan skala besar. Di Aceh, sebagian wilayah di Aceh Tenggara dan Gayo Lues baru bisa ditembus setelah akses darat dibuka dengan alat berat akibat jalan dan jembatan yang terputus. Di Sumatra Utara, kawasan pegunungan Langkat dan Mandailing Natal mengalami kondisi serupa, ketika jalan nasional lumpuh tertimbun longsor dan material kayu, lumpur, serta batu. Di Sumatera Barat, beberapa nagari di Agam dan Tanah Datar sempat menggantungkan diri pada jalur darurat sebelum distribusi logistik berjalan lebih stabil.
Kesulitan menembus daerah-daerah ini bukan sekadar soal medan atau cuaca. Ia menjadi indikator awal betapa besarnya skala bencana yang kita hadapi, lintas provinsi dan terjadi hampir serempak. Infrastruktur ambruk bukan di satu titik, melainkan di banyak simpul kehidupan sekaligus. Dalam situasi seperti ini, sebaik apa pun sistem tanggap darurat, kecepatan respons akan selalu dibatasi oleh tingkat kerusakan yang melampaui kondisi normal.
Skala itu tercermin dalam angka. Berdasarkan data terbaru BNPB per Sabtu, 6 Desember 2025, korban meninggal akibat bencana hidrometeorologi di Sumatra Utara, Sumatra Barat, dan Aceh mencapai 914 jiwa, sementara 389 orang masih dinyatakan hilang. Angka ini lahir dari proses evakuasi dan pendataan bertahap, seiring semakin banyak wilayah terisolasi yang berhasil dijangkau.
Di titik ini, perdebatan mengenai penetapan status “bencana nasional “sejatinya tidak perlu ditarik terlalu jauh. Pemerintah pusat telah mengambil keputusan untuk tidak menetapkan bencana ini sebagai bencana nasional, seraya menyatakan komitmen memperkuat peran koordinatif dan dukungan kepada pemerintah daerah. Ini adalah keputusan kebijakan yang sah. Yang lebih penting untuk dicermati adalah apa makna dan implikasi dari pilihan itu, terutama bagi cara kita belajar dari bencana.
Untuk membaca ke depan, kita perlu menengok ke belakang.
Aceh, Sumatra Utara, dan Sumatra Barat BUKAN WILAYAH TANPA PENGALAMAN BANJIR BANDANG.
Dari pengumpulan data dan analisis yang dilakukan secara relevan, ketat, dan berlapis menggunakan bantuan kecerdasan buatan, saya menyajikan argumentasi ini.
Aceh, terutama pasca-tsunami 2004, membangun kapasitas manajemen krisis yang relatif matang. Dalam berbagai peristiwa banjir bandang di kawasan hulu DAS Alas, Gayo, dan Aceh Selatan, respons darurat umumnya cepat dan terkoordinasi. Namun di sisi lain, laporan lingkungan selama bertahun-tahun menunjukkan kerusakan hutan dan tekanan terhadap daerah aliran sungai masih berulang. Pola banjir bandang muncul kembali di lokasi-lokasi yang sama. Aceh belajar kuat di sisi penanggulangan, tetapi belum sepenuhnya menutup celah pencegahan.
Sumatra Utara memiliki pengalaman yang bahkan lebih panjang. Tragedi banjir bandang Bahorok 2003 menjadi salah satu peristiwa paling kelam, dengan ratusan korban jiwa dan kesimpulan yang jelas sejak awal: deforestasi di kawasan penyangga Taman Nasional Gunung Leuser adalah faktor kunci. Namun setelah itu, banjir bandang terus menghantam wilayah seperti Langkat dan Mandailing Natal, pada 2009, 2018, dan kembali di 2025. Data BPBD menunjukkan banjir sebagai bencana paling dominan hampir setiap tahun. Pengalaman berlimpah, tetapi pola kebijakan korektif tidak pernah benar-benar mengubah arah risiko.
Sumatra Barat berada di jalur yang berbeda. Gempa besar 2009 memaksa daerah ini membangun kesadaran bahwa risiko bencana adalah bagian dari hidup. Dalam berbagai peristiwa banjir bandang dan galodo, korban jiwa relatif lebih bisa ditekan dibandingkan skala kerusakan. Jalur evakuasi lebih dikenal, masyarakat bergerak lebih cepat, dan risiko lebih sering masuk ke dalam perencanaan. Meski demikian, keterbatasan fiskal dan tekanan terhadap ruang hidup tetap membuat mitigasi struktural berjalan setengah jalan.
Dari potret tiga daerah ini, pembelajaran kebencanaan terlihat TIDAK BERGERAK SEREMPAK. Ada daerah yang belajar mengelola krisis, ada yang belajar beradaptasi, dan ada pula yang seakan mengulang luka lama dengan kesimpulan yang sama.
Jika diringkas, pembelajaran itu terbagi dua.
Pertama, pencegahan, yang hampir selalu disebut tetapi jarang dijalankan dengan konsistensi politik. Perlindungan daerah aliran sungai, pengendalian deforestasi, dan penegakan tata ruang di lereng serta kawasan hulu kerap kalah oleh kepentingan ekonomi jangka pendek. Rekomendasi pascabencana menumpuk, tetapi keberanian untuk menutup atau mengoreksi sumber risiko sering berhenti di atas kertas.
Kedua, penanggulangan bencana, yang justru menunjukkan kemajuan paling nyata. Respons darurat, evakuasi, pendirian dapur umum, distribusi logistik, dan koordinasi lintas lembaga semakin terstruktur. Namun, kemajuan ini sering kali dipaksa bekerja di atas fondasi yang sudah rapuh. Ketika kerusakan terlalu luas dan banyak wilayah terisolasi bersamaan, sistem yang baik pun akan terseok.
Banjir bandang Sumatra 2025 memperlihatkan dengan jujur bahwa kegagalan pencegahan dan mitigasi AKAN SELALU menghukum fase tanggap darurat. Lambatnya bantuan mencapai sebagian wilayah bukan hanya akibat cuaca ekstrem, melainkan akibat dari skala kerusakan yang dibentuk oleh kebijakan dan perilaku bertahun-tahun sebelumnya.
Di sini, pembelajaran seharusnya menjadi refleksi bersama.
Negara, pemerintah daerah, dan masyarakat perlu sepakat pada satu hal mendasar. Bencana bukan peristiwa acak yang jatuh dari langit. Ia adalah hasil interaksi panjang antara alam, kebijakan, dan cara kita memperlakukan ruang hidup. Jika pembelajaran hanya berhenti pada bagaimana menolong korban, maka kita sedang menyiapkan panggung bagi korban berikutnya.
Ada pepatah lama yang sederhana tetapi keras :
“Kita bukan keledai yang jatuh di lubang yang sama.”
Banjir bandang Sumatra 2025 seharusnya menjadi lubang yang cukup dalam untuk membuat kita berhenti, menengok ke belakang, dan bertanya dengan jujur. Sudahkah pengalaman benar-benar kita ubah menjadi kebijakan. Sudahkah kebijakan mengubah perilaku. Ataukah kita hanya semakin mahir mengevakuasi, tetapi tetap enggan mencegah.
Di situlah makna sejati pembelajaran bencana diuji. Bukan saat air datang, tetapi jauh setelah ia surut dan ingatan publik mulai memudar.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Penanggulangan menyelamatkan hari ini, pembelajaran menyelamatkan esok hari.”
NOW ON AIR SSFM 100
