Hasil polling Suara Surabaya Media terkait rencana penerapan sistem pembayaran parkir digital menunjukkan kecenderungan yang konsisten di seluruh kanal. Di siaran on air radio, hampir seluruh pendengar yang merespons memilih pembayaran parkir digital.
Sekitar 99 persen responden menyatakan memilih digital, sementara hanya sekitar 1 persen yang memilih pembayaran tunai. Meski jumlah pemilih di radio tidak besar, jarak pilihan yang sangat lebar menunjukkan sikap yang tegas.
Di media sosial, pola serupa terlihat. Pada polling Instagram, sekitar 80 persen hingga 85 persen responden memilih pembayaran parkir digital, sementara 15 persen hingga 20 persen lainnya masih memilih tunai.
Jumlah pemilih mencapai ratusan akun, dengan latar belakang audiens yang lebih beragam. Sementara di Facebook, polling yang melibatkan lebih dari dua ratus responden menunjukkan sekitar 85 persen memilih pembayaran digital dan 15 persen memilih tunai.
Perbedaan karakter audiens di tiap kanal tidak mengubah satu hal utama. Mayoritas responden, baik pendengar radio maupun pengguna media sosial, menyatakan preferensi pada sistem pembayaran parkir digital.
Selisih pilihan yang konsisten itu menunjukkan bahwa dukungan terhadap digitalisasi parkir bukan suara sesaat, melainkan kecenderungan yang relatif stabil.
Polling ini tidak berdiri di ruang hampa, tapi lahir dari pengalaman sehari-hari warga kota. Dari rutinitas parkir yang kerap melelahkan. Dari rasa tidak nyaman ketika aturan terasa longgar, tarif tidak ajeg, dan posisi warga sering kali berada di ujung yang lemah.
Pilihan pada sistem digital lebih tepat dibaca sebagai keinginan akan keteraturan, bukan semata soal alat bayar.
Surabaya sudah terlalu lama hidup berdampingan dengan parkir liar. Bukan hanya di jalan lingkungan, tapi juga di kawasan usaha dan ruang publik.
Parkir menjadi ruang abu-abu antara kebiasaan dan aturan. Setiap hari warga bernegosiasi kecil, membayar tanpa kepastian, dan pulang dengan rasa tidak beres. Kelelahan inilah yang mengendap dan kemudian muncul dalam pilihan publik pada polling tersebut.
Di sisi lain, Kota Surabaya juga memikul kepentingan yang tidak kecil. Retribusi parkir adalah bagian dari pemasukan daerah. Uang publik yang seharusnya kembali ke warga dalam bentuk jalan yang layak, trotoar yang aman, dan layanan kota yang manusiawi.
Ketika kebocoran terjadi, yang dirugikan bukan hanya kas daerah, tetapi keadilan publik.
Rencana Pemerintah Kota Surabaya melakukan digitalisasi parkir secara bertahap mulai Januari 2026 berada di titik ini. Tujuan kebijakan ini jelas. Transparansi dan optimalisasi pendapatan.
Palang otomatis dan pembayaran nontunai diharapkan mampu menutup celah kebocoran yang selama ini sulit dikendalikan. Secara arah, kebijakan ini sejalan dengan aspirasi publik yang tertangkap dalam polling.
Namun, pengalaman sebelumnya memberi pelajaran penting. Penerapan pembayaran parkir menggunakan QRIS yang sempat dicoba belum berjalan konsisten. Mesin tersedia, tetapi praktik di lapangan masih longgar.
Pembayaran tunai tetap diterima. Kebocoran transaksi tetap terjadi. Ini menunjukkan bahwa masalah parkir tidak berhenti pada teknologi, tetapi pada sistem pengawasan dan keberanian penegakan.
Dalam konteks itu, suara juru parkir perlu didengarkan. Paguyuban Juru Parkir Surabaya (PNS) menyatakan dukungan terhadap digitalisasi, dengan catatan kesejahteraan tetap menjadi perhatian.
Usulan pembagian retribusi 70 banding 30, bukan 60 banding 40 seperti yang berlaku saat ini, mencerminkan kegelisahan sosial di tingkat lapangan. Juru parkir berada di garis depan interaksi dengan warga. Mereka berharap bagi hasil yang berpihak pada mereka.
Dari sudut pandang Redaksi Suara Surabaya, persoalan parkir di Surabaya adalah persoalan struktur sosial. Relasi antara Pemkot Surabaya, pengelola, juru parkir, dan warga harus dibenahi secara menyeluruh.
Selama insentif ekonomi timpang dan penegakan aturan tidak konsisten, parkir akan terus menjadi sumber masalah. Digitalisasi tanpa pembenahan struktur hanya akan memindahkan persoalan ke bentuk baru.
Parkir digital seharusnya diposisikan sebagai alat, bukan tujuan. Alat untuk menertibkan ruang kota. Alat untuk memastikan pendapatan daerah masuk dengan benar. Alat untuk menciptakan rasa adil, baik bagi warga maupun juru parkir.
Pada akhirnya, yang dipertaruhkan bukan pilihan antara tunai atau digital, melainkan kenyamanan kota dan keberanian menempatkan kepentingan bersama di atas kebiasaan lama. Surabaya layak ditata dengan cara yang lebih tertib, lebih adil, dan lebih berpihak pada publik.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Dukungan publik sudah ada, pembenahan sistem tak bisa ditunda,”
NOW ON AIR SSFM 100
