Jumat, 24 Oktober 2025

Suara, Ruang, dan Keberimbangan Sosial: Membaca Regulasi sebagai Jembatan

Laporan oleh Eddy Prastyo
Bagikan
Ilustrasi sound horeg. Foto: AI

Suara adalah salah satu elemen paling demokratis di ruang publik. Ia tidak mengenal tembok, tidak memeriksa KTP, dan tidak menimbang apakah penerimanya mau atau tidak. Ia hadir, merambat, dan menembus batas. Dalam konteks urban, suara bisa menjadi identitas, ekspresi, bahkan perlawanan; tapi ia juga bisa menjadi gangguan, tekanan, dan sumber friksi.

Fenomena sound horeg adalah salah satu wajah dari realitas itu. Ia lahir dari kebutuhan sebagian kelompok untuk merayakan, menunjukkan eksistensi, dan mengisi ruang sosial dengan energi yang mereka anggap menyenangkan. Namun di sisi lain, bagi sebagian warga, dentumannya terasa mengganggu, bukan sekadar telinga, tapi juga ritme hidup, ruang istirahat, dan hak untuk tenang.

Beberapa waktu lalu, saya mencoba mengupas lapisan batin dan dinamika sosial di balik fenomena ini. Tujuannya sederhana: memahami dulu sebelum menghakimi. Namun, tak semua pembaca menangkap niat itu. Sebagian menganggapnya sebagai normalisasi gangguan sosial. Di situlah saya belajar satu hal penting: kadang, upaya menjembatani juga perlu menjelaskan apa yang sedang dijembatani.

Kemudian, Pemerintah Provinsi Jawa Timur bersama aparat keamanan telah mengeluarkan regulasi yang mengatur penggunaan sound system di ruang publik. Sebagian melihatnya sebagai larangan tegas, sebagian lagi menganggapnya pengekangan kreativitas. Namun jika kita amati lebih jernih, regulasi ini sebenarnya adalah mekanisme penataan hubungan sosial. Membatasi bukan untuk mematikan, tetapi untuk mengatur agar ekspresi dan kenyamanan bisa hidup berdampingan.

Regulasi ini menetapkan batas: jam penggunaan, tingkat volume, hingga lokasi yang diizinkan. Bagi pengguna sound horeg, ini adalah peluang untuk terus mengekspresikan diri dalam koridor yang jelas, mengurangi risiko benturan dengan warga lain. Bagi warga yang merasa terganggu, ini adalah jaminan bahwa hak mereka untuk menikmati ruang publik dengan tenang diakui dan dilindungi.

Di titik ini, yang dibutuhkan bukan lagi debat tentang siapa yang paling benar, tapi kesadaran bahwa kita sedang membangun jembatan sosial. Jembatan yang memungkinkan dua kelompok dengan kebutuhan berbeda tetap bisa saling menyapa tanpa rasa curiga atau benci.

Kota yang sehat bukan kota tanpa suara, melainkan kota yang mampu mengelola suaranya. Dan masyarakat yang matang bukanlah mereka yang selalu sepakat, melainkan mereka yang bisa menghargai otoritas kenyamanan dan posisi sosial masing-masing, meski berbeda latar dan selera.

Regulasi ini bukan palu untuk memukul salah satu pihak, tetapi pagar yang menjaga agar kita semua tidak terjatuh ke jurang konflik. Semoga dengan ini, ruang publik kita bisa kembali menjadi tempat di mana suara, dalam segala bentuknya, dapat hadir tanpa mematikan ruang yang lain.

Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media

“Ruang Publik: Tempat Semua Bisa Mendengar dan Didengar”

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Perpaduan Hujan dan Macet di Jalan Ahmad Yani

Kebakaran Gedung Ex-Bioskop Jalan Mayjen Sungkono

Kecelakaan Mobil di Jembatan Suramadu, Kondisinya Ringsek

Kecelakaan Bus Tabrak Belakang Truk di KM 749 Tol Sidoarjo-Waru

Surabaya
Jumat, 24 Oktober 2025
25o
Kurs