
Gambar Nepal dalam beberapa hari terakhir beredar di layar dunia: tentara berjaga di jalan, pejabat dikejar dan dipermalukan, gedung-gedung dibakar, dan akhirnya perdana menteri memilih mundur. Pemerintahan militer mengisi kekosongannya.
Saya tidak perlu mengurai detail peristiwa itu, karena yang lebih penting adalah membaca pola yang mengendap di baliknya. Ada satu skema yang berulang di beberqpa tempat dalam 4 bulan terakhir: kekuasaan merespons gejolak dengan cambuk dan permen, dengan “whip and candy”.
Di Indonesia, kita melihat pola serupa. Saat demonstrasi soal keadilan dan kritik kebijakan tunjangan DPR membesar, aparat pertama-tama menembakkan gas air mata dan menangkap banyak orang. Itulah cambuk. Baru setelahnya pemerintah melunak, memangkas sebagian fasilitas yang dianggap menyakiti rasa keadilan publik. Itu permennya.
Efeknya jelas: tensi mereda, tapi mungkin rasa perih tetap tersisa. Publik menang kecil, pemerintah tampak mengalah sedikit, namun luka percaya tidak serta-merta pulih. Efektivitasnya sebatas meredakan jalanan, masih dalam proses menjawab akar keresahan.
Malaysia tampil berbeda. Anwar Ibrahim tidak menunggu api membakar lebih jauh. Aparat diturunkan, tapi sebatas menunjukkan wibawa, tidak membiarkan peluru dan gas air mata bicara.
Hampir bersamaan, ia mengumumkan bantuan tunai dan janji harga bahan bakar turun. Candy itu langsung terasa di dapur rakyat. Demonstrasi tetap berlangsung, bahkan menggaungkan tuntutan agar ia mundur, tapi mereda tanpa korban, tanpa trauma kolektif.
Di sini skema whip and candy bekerja relatif efektif: cambuknya terbatas, permennya cepat, dan legitimasi pemerintah agaknya masih bisa bertahan.
Prancis memberi pelajaran lain. Gelombang protes “Block Everything” membuat jalan-jalan Paris dan Lyon lumpuh. Polisi merespons dengan penangkapan, tetapi ruang negosiasi fiskal tetap dibuka.
Pergantian kabinet menjadi sinyal konsesi, seolah pemerintah berkata: kami dengar, kami koreksi, tapi negara tetap berjalan. Efeknya moderat, protes tidak sepenuhnya padam, namun kanal demokrasi yang masih berfungsi membuat candy itu terasa lebih kredibel.
Kenya memperlihatkan wajah paling suram. Ketika generasi muda menolak beban pajak dan biaya hidup, aparat membalas dengan peluru tajam. Puluhan tewas, aktivis dijerat dengan undang-undang antiteror.
Cambuk yang terlalu keras justru menghancurkan peluang dialog. Candy berupa janji penyelidikan dan koreksi kebijakan terdengar lemah, bahkan sinis, di telinga publik yang baru saja kehilangan anak-anak mereka. Efektivitasnya mendekati nol.
Dari rangkaian itu tampak jelas: keberhasilan “whip and candy” tidak ditentukan oleh seberapa keras cambuk, melainkan seberapa cepat dan nyata permen diberikan.
Malaysia dan Prancis berhasil mengendalikan dengan biaya politik relatif kecil karena tahu mengukur dosis. Indonesia memilih jalur keras dulu, lembut kemudian, sehingga hasilnya baru meredakan permukaan. Janji perbaikan masih ditunggu di masa depan. Nepal dan Kenya terlalu lama bersembunyi di balik cambuk, sehingga permennya seakan berubah jadi penebusan dosa, bukan jalan keluar.
Kembali ke Indonesia, refleksi ini penting. Kita hidup dalam situasi di mana rakyat makin cerdas membaca permainan kekuasaan. Mereka tahu kapan pemerintah benar-benar mendengar, dan kapan hanya menabur gula di atas luka.
Whip and candy bisa meredakan kerumunan sesaat, tapi tidak cukup membangun kembali jembatan kepercayaan. Untuk itu diperlukan keberanian politik yang lebih dari sekadar kombinasi represi dan konsesi.
Dibutuhkan kesediaan menatap akar masalah, mengaku salah, dan menata ulang kontrak sosial yang rusak. Tanpa itu, cambuk dan permen hanya akan menjadi siklus yang berulang, meninggalkan jejak kelelahan di jalanan, dan residu kekecewaan di hati rakyat.
Eddy Prastyo | Editor in Chief | Suara Surabaya Media
“Permen bisa manis sesaat, tapi pahitnya kekecewaan bisa lebih lama tinggal.”