Fluktuasi harga kedelai impor kembali terjadi di Tanah Air. Saat ini harga kedelai impor di pasaran mencapai Rp 9.583 per kilogram, naik dibanding harga saat normal sekitar Rp 6.800 hingga Rp 7.500 per kilogram. Kondisi ini ditengarai akibat turunnya produksi negara pengekspor seperti Amerika dan tertutupnya jalur distribusi akibat pandemi Covid-19.
“Fluktuasi harga kedelai ini adalah masalah klasik dan untuk mengurainya harus dilakukan dari hulu hingga hilir. Petani kedelai lokal harus dibangkitkan agar ketergantungan terhadap kedelai impor bisa ditekan,” tegas Dr.Edi Purwanto, STP, MM Wakil Ketua Umum Bidang Pertanian dan Pangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Jatim, Selasa (5/1/2021).
Saat ini, produksi kedelai lokal secara nasional tahun 2020 hanya mencapai 320 ribu ton per tahun, sementara kebutuhan kedelai nasional mencapai 2,5 juta ton per tahun. Sedangkan produksi kedelai Jatim tahun 2020 mencapai 57.235 ton per tahun dan kebutuhan kedelai Jatim mencapai 447.912 ton per tahun.
“Kekurangan tersebut pastinya diperoleh dari impor. Dan jumlahnya sangat besar,” ujarnya dalam keterangan tertulis yang diterima suarasurabaya.net.
Untuk itu, kebangkitan petani kedelai lokal menurutnya menjadi sebuah keniscayaan untuk menghilangkan ketergantungan Indonesia terhadap kedelai impor. Terlebih saat ini, sudah ada perusahaan lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul dengan produktivitas yang cukup tinggi di Jember, yaitu PT Taro Tama Nusantara (PT TTN).
“Kedelai ini kan tanaman tropis, sehingga produktivitasnya rendah jika ditanam di Indonesia. Jika di Amerika produktivitas tanaman kedelai bisa mencapai 5 ton per hektar, maka di Indonesia produktivitasnya hanya mencapai 1,3 ton hingga 1,5 ton per hektar. Dengan rekayasa pembenihan, maka prodiktivitas benih kedelai yang dihasilkan oleh PT TTN ini bisa mencapai 3 ton hingga 3,2 ton per hektar,” ujar Edi.
Menurutnya, ada beberapa faktor kenapa kedelai lokal tidak diminati, baik oleh petani maupun oleh pengrajin tahu dan tempe. Pertama, produktivitas kedelai lokal rendah, hanya sekitar 1,3 ton per hektar. Sementara biaya pengolahan tinggi, sehingga petani lebih memiliki menanam padi dan jagung yang dianggap lebih menguntungkan. Di sisi lain, pengrajin tempe dan tahu juga kurang berminat karena kualitas dianggap rendah, biji kedelai kecil dan tidak rata serta kulit ari keras sehingga membutuhkan waktu lama dalam proses peragian.
Selain itu, kampanye ke para pedagang dan produsen pemakaian kedelai lokal juga harus diperkuat, bahwa kedelai lokal juga bagus untuk bahan baku. Sebab selama ini dipersepsi yang berkembang adalah kedelai lokal tidak enak dan tidak ekonomis jika dibuat tahu dan tempe. “Pengembangan sentra-sentra kedelai lokal yang berkualitas juga harus dilakukan,” tandasnya.
Sementara itu, Adik Dwi Putranto Ketua Umum Kadin Jatim sangat antusias dan memberi dukung penuh kepada industri benih kedelai lokal yang berhasil mengembangkan benih kedelai kualitas unggul. Karena dengan menggerakkan kembali petani kedelai lokal akan mampu mengurai persoalan fluktuasi harga kedelai impor yang berdampak luas kepada pengrajin tahu dan tempe dalam negeri.
“Ini harus dapat dukungan penuh. Kami juga akan berupaya menjembatani dengan pemerintah agar budidaya kedelai lokal kualitas unggul ini bisa disebarluaskan ke petani sehingga harapan swasembada kedelai nasional bisa tercapai,” pungkas Adik.(dfn/ipg)