Jumat, 29 Maret 2024

Kedelai Langka, Harus Ada Titik Ungkit Upaya Reformasi Agriculture

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Kedelai impor diangkut dari kapal kargo di sebuah pelabuhan di Nantong, Provinsi Jiangsu, China 21 Agustus 2018. Foto: Reuters/Antara

Kelangkaan kedelai tidak hanya dirasakan di Surabaya, bahkan Jakarta dan Jawa Barat juga terdampak. Bahkan di Jakarta, sekitar 5.000 pelaku Usaha Kecil Menengah (UKM) yang tergabung Pusat Koperasi Produsen Tempe Tahu Indonesia (Puskopti) DKI Jakarta menghentikan sementara proses produksi pada 1-3 Januari 2021.

Kata Ramdan Hidayat Dosen Fakultas Pertanian UPN Surabaya, kelangkaan ini disebabkan masih mengandalkan kedelai impor. Sehingga ketika negara produsen terkendala dalam hal transportasi dan logistik terutama dalam masa pandemi seperti sekarang, maka berimbas pada tingkat produksi di dalam negeri.

Ia mencontohkan tempe. Menurutnya, produksi tempe di Indonesia 100 persen menggunakan kedelai impor dari Amerika, karena kedelai lokal ukurannya bervariasi dan tidak homogen sehingga lebih sulit saat diolah.

“Yang jadi masalah karena 100 persen industri tempe menggunakan kedelai impor. Di masa pandemi seperti ini tentu ada masalah kaitannya dengan transportasi dan logistik. Maka kita mestinya melakukan suatu penanaman yang sifatnya massal,” kata Ramdan saat mengudara di Radio Suara Surabaya, Sabtu (2/1/2021).

Untuk melakukan penanaman massal, tentu dibutuhkan lahan yang luas. Sedangkan kepemilikan petani atas lahan di Indonesia, kata Ramdan, sangat sempit, kurang dari 0,3 hektare. Bila dilihat dari skala profitabilitas kurang menguntungkan.

“Produksi kedelai di indonesia sampai sekarang hanya mencapa 1-2 ton per hektare. Saat panen harganya anjlok, pada saat mau nanam benihnya mahal, saat butuh pupuk subsidinya belum tersedia. Hal-hal seperti ini dalam tata niaga kurang menguntungkan, harus ada titik ungkit untuk upaya reformasi agriculture,” lanjutnya.

Ramdan menuturkan, saat ini pemerintah membuat program Food Estate atau lumbung pangan yang dibangun di beberapa wilayah di antaranya Kalimantan, Sumatera, dan Merauke.

Food Estate menurutnya dapat memenuhi konsumsi dalam negeri bahkan menjadi solusi ekspor, terlebih di masa pandemi ini yang mana orientasinya adalah peningkatan produktivitas dan kualitas.

“Kalau kedelai terkendala, solusinya food estate baik di pangan ataupun holtikultura,” ungkapnya.

Selain itu, dalam sistem industri 4.0 seperti sekarang, semestinya digitalisasi bisa menjadi solusi. “Penyemprotan menggunakan drone, sistem alarm kalau keasaman mencapai batas ambang berbahaya, hingga kalau kekeringan bagaimana,” imbuhnya. (dfn/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
27o
Kurs