Jumat, 29 Maret 2024

Proyek IKN dan Kereta Api Cepat Hanya Perburuk Fiskal dan Menambah Utang

Laporan oleh Muchlis Fadjarudin
Bagikan
Rizal Ramli Mantan Menteri Perekonomian dalam dialektika demokrasi membahas impor beras, di gedung DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (20/9/2018). Foto: Faiz suarasurabaya.net

Pemerintah diminta membatalkan dua megaproyek besar, yakni pemindahan Ibo Kota Negara (IKN) dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, karena dianggap membebani keuangan negara dan memperburuk fiskal yang tengah defisit akibat penanganan pandemi Covid-19.

Hal itu disampaikan Rizal Ramli ekonom senior dalam Gelora Talk secara daring dengan tema ‘APBN di antara Himpitan Pajak dan Utang Negara’ Rabu (20/10/2021).

“Kita enggak punya uang untuk membangun ibu kota baru, atau proyek ini atau proyek itu. Tapi mereka paksakan juga, bikin Ibukota baru misalnya,” kata Rizal Ramli.

Menurut dia, pemindahan ibukota baru dan proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, bukan prioritas untuk saat ini dan tidak perlu dipaksakan kelanjutan pembangunannya.

Selain kondisi APBN yang tergerus sangat dalam, kata Rizal, utang Indonesia juga semakin membengkak. Untuk membayar pokok pinjaman saja, lanjutnya, negara harus menggelontorkan dana Rp 400 triliun.

“Kemudian membayar bunga pinjaman sebesar Rp 370 triliun, sehingga total utang tahun ini yang harus dibayar negara tahun ini, Rp 770 triliun. Untuk bayar bunganya aja harus pinjam, ini gali lubang tutup jurang. Ini pengelolaan fiskal yang ugal-ugalan,” katanya.

Sementara Fuad Bawazier Menteri Keuangan tahun 1998 mengatakan, pemerintah dinilai telah salah jalan mengeluarkan Perppu 1/2020 ditambah lagi dengan adanya UU Pajak baru yaitu Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP). Sebab, hal ini tidak bisa meningkatkan pendapatan negara.

Saat akan membuat UU tentang perpajakan, menurut dia, bisa diketahui berapa target yang akan diperoleh. Karena, pajak adalah soal angkadan detil. Namun meski UU sudah diubah, narasinya tetap propaganda dan retorika politik belaka  tanpa ada angka.

Fuad juga menilai pemerintah berlaku tidak adil dalam pengenaan pajak, dimana negara kembali memberikan tax amnesty jilid II kepada orang-orang yang melakukan korupsi, sementara rakyat diberikan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 11-12 persen.

“Negara negara lain tidak ada yang seperti itu. Saya dari pertama sudah haqqul yakin ini ada unsur kekuatan eksternal yang nitipin,” ujarnya.

Karena itu, mengingatkan agar pemerintah menaikkan penerimaan dan menekan belanja. Khususnya untuk hal-hal yang tidak terlalu perlu dan tidak ada urgensinya.

“Jika diteruskan, maka keuangan negara akan terpuruk semakin dalam. Dimana ancaman krisis fiskal sudah terlihat semakin nyata,” katanya.

Sedangkan Mukhamad Misbakhun anggota Komisi XI DPR menilai kebijakan pemindahan ibukota baru dan proyek kereta cepat Jakarta Bandung sudah ditetapkan jauh hari sebelum pandemi Covid-19 berlangsung.

“Sekarang kelanjutannya. Ada perubahan yang berubah dari skenario awal. Bila ada situasi berubah, maka upaya yang dilakukan juga berubah. Apalagi,  perubahan situasinya sangat serius. Siapa yang bisa menguji kedalaman pandemi? Tiga bulan lalu, siapa yang bisa memperkirakan saat ini konfirmasi kasus positif di bawah 1000,” kata Misbakhun.

Misbakhun menganggap wajar jika semasa awal pandemi pemerintah menarik utang dari berbagai sumber karena mengalami defisit APBN, yang juga dialami negara lain selama masa pandemi.

Namun, utang yang menumpuk itu bisa diimbangi dengan belanja yang berkualitas dan dirasakan langsung oleh rakyat sampai pada hal-hal yang utama seperti peningkatan kualitas pendidikan dan pelayanan kesehatan.

“Fungsinya pajak disitu, dipungut itu untuk kepentingan rakyat. Bagi saya mari kita awasi bersama upaya pemerintah memungut pajak dan upaya kualitas belanja ini. Disitulah kita bisa mengukur manfaat dari APBN,” kata Misbakhun.

Menurut Misbakhun, perencanaan APBN itu direncanakan tidak hanya dari sisi penerimaan saja, tetapi juga belanja. Untuk mengatasi utang itu, maka penerimaan pajak harus digenjot. Sehingga jika tax ratio rendah, bukan untuk diratapi, tetapi dicarikan jalan keluarnya.

Anggota Komisi XI DPR RI ini menegaskan, siapa pun menteri ataupun presidennya, maka ketika menghadapi situasi pandemi seperti saat ini bukan tidak mungkin akan mengambil langkah taktis, sebagai langkah antisipatif mengatasi penyebaran wabah dan dampak perekonomian di dalam negeri.

“Pandemi ini juga menjadi ujian bagi para pemimpin, mengenal kelas ujiannya, leadership-nya, dan bagaimana mencari langkah antisipasi terhadap situasi dan keadaan yang ada,” jelasnya.

Achmad Nur Hidayat Ketua Bidang Kebijakan Publik DPN Partai Gelora Indonesia mengatakan, pemerintah diminta tidak sembrono dalam mengelola APBN, karena akan berpengaruh pada generasi berikutnya.

“Mengelola APBN saya kira jangan sembrono. Ini menjadi konsen Partai Gelora untuk kita saling berdiskusi melihat masa depan APBN kita. Kalau APBN sembrono, gimana untuk generasi berikutnya,” kata Achmad.(faz/tin)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Jumat, 29 Maret 2024
27o
Kurs