Rabu, 24 April 2024

Polemik Subsidi BBM, Pakar: Sejauh Ini Masih Sering Kurang Tepat Sasaran

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi. SPBU. Foto: Pertamina

Pemerintah masih mengkaji tambahan anggaran subsidi energi pada tahun ini,  mengingat penyaluran bahan bakar minyak (BBM) Solar dan Pertalite akan melebihi kuota pada tahun ini.

Yustinus Prastowo Staf khusus Menteri Keuangan pada Rabu (30/3/2022) mengatakan, pihaknya masih menunggu arahan dari Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan dan Badan Kebijakan Fiskal (BKF).

Kementerian Keuangan mencatat, meningkatnya belanja non kementerian/lembaga dipengaruhi oleh penyaluran subsidi BBM, gas LPG, dan listrik, dengan realisasi subsidi energi pada Februari 2022, sebesar Rp 21,7 triliun.

Sebelumnya, di hari yang sama Erick Thohir Menteri Badan Usaha Milik Negara (BUMN) memastikan harga bahan bakar minyak (BBM) Pertamax bakal naik. Kenaikan tersebut dipicu oleh melonjaknya harga minyak mentah dunia yang telah menembus US$100 per barel.

Ia mengungkapkan bahan bakar RON 92 PT Pertamina itu tidak mendapatkan subsidi dari pemerintah. Sementara, Pertalite mendapatkan subsidi tersebut.

“Pemerintah sudah putuskan, Pertalite jadi subsidi, Pertamax  tidak. Jadi kalau Pertamax naik mohon maaf. Pertalite subsidi,” ungkap Erick dalam kuliah umum Milenial dan Digital Mendorong Pertumbuhan Ekonomi Nasional, Rabu (30/3/2022)

Kebijakan subsidsi dan kenaikan harga BBM ini mendapat banyak respon dari masyarakat, beberapa diantaranya bahkan menganggap subsidi ini bisa lebih difokuskan untuk kebutuhan pokok. Namun ada juga yang beranggapan bahwa momentum kenaikan harga sangat tidak tepat dan subsidi seringkali tidak tepat sasaran.

“Harus tetap ada subsidi itu, Negara ini prinsipnya masih berdasarkan Undang-Undang tahun 45 tentang ekonomi kerakyatan. Kalau tidak ada subsidi, kebutuhan masyarakat nanti malah banyak dikuasai swasta. Tapi ya kalo ada kenaikan harga mohon lihat kondisi lah,” ujar Sumarno pendengar Suara Surabaya (SS) yang mengudara Kamis (31/3/2022).

“Tidak setuju kalau subsidi dicabut. Tapi harusnya kalau memang tetap ada ya disesuaikan biar tepat sasaran dengan peraturan yang tegas. Karena selama ini kalau kita lihat LPG 3 kilo di rumah-rumah mewah saja pasti ada,” terang Putri pendengar SS.

Di sisi lain, ada juga masyarakat yang beranggapan jika subsidi lebih baik dicabut, dengan catatan harga kebutuhan pokok yang lain bisa stabil.

“Kalau saya setuju dicabut saja, BBM disesuaikan dengan harga minyak dunia tapi harga kebutuhan pokok juga harus dijamin biar ngga ikut-ikutan mahal semua. Yang penting distribusi lancar,” ucap Artha pendengar SS.

Menanggapi hal ini, Unggul Heriqbaldi Pengamat Ekonomi Universitas Airlangga pada Radio Suara Surabaya Kamis (31/3/2022) mengatakan, subsidi yang diberikan pada sejumlah komoditas sebenarnya cenderung tidak sehat, bahkan selalu ada kebocoran.

Kebijakan terbaik terkait subsidi adalah pengurangan secara bertahap, bukan dihilangkan secara serta-merta.

“Akan lebih bagus sebenarnya kalau pengurangan subsidi itu jangan langsung dicabut, tapi secara terbuka disampaikan ke masyarakat untuk setiap tahun dilakukan pengurangan bertahap,” ujar Unggul.

Saat ini, perkonomian masyarakat sedang dalam masa recovery sehingga jika ada kebijakan subsidi yang disertai kenaikan harga kebutuhan pokok, maka harus dilakukan bertahap agar tidak terlalu membebani masyarakat. Pengurangan subsidi dinilai akan berdampak baik pada APBN.

“Subsidi itu jangan asal ditujukan untuk semua lapisan masyarakat. Harus dipastikan kepada orang yang memang benar-benar membutuhkan. Bisa jadi ini momentum untuk agar pemerintah bisa menerapkan subsidi lebih baik ,” pungkas Unggul. (bil/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Rabu, 24 April 2024
29o
Kurs