Selasa, 7 Mei 2024

GAPPRI Minta Pemerintah Tak Jadikan Stunting Alasan Naikkan Cukai Hasil Tembakau

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Dokumentasi - Buruh linting rokok menempel pita cukai di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Antara Dokumentasi - Buruh linting rokok menempel pita cukai di salah satu pabrik rokok di Blitar, Jawa Timur, Kamis (25/3/2021). Foto: Antara

Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) meminta pemerintah tak menjadikan program penurunan stunting, sebagai alasan menaikkan cukai hasil tembakau (CHT) pada 2024.

Menurut Henry Najoan Ketua umum GAPPRI, menaikkan tarif cukai hasil tembakau dengan alasan untuk menurunkan tingkat stunting atau gangguan pertumbuhan badan pada anak-anak tidaklah tepat.

“Upaya mengkambinghitamkan rokok sebagai penyebab stunting, agar pemerintah menaikkan tarif CHT justru memperbesar dampak negatif seperti semakin maraknya rokok illegal,” kata Henry di Jakarta, Sabtu (14/10/2023), seperti dilansir Antara.

Dituturkannya, kondisi industri hasil tembakau (IHT) legal saat ini sedang terdesak. Karena itu, diperlukan relaksasi agar IHT legal dan mata rantai yang berelasi di sepanjang industri bisa pulih dan bertahan.

Ia berharap pemerintah meninjau kembali kebijakan kenaikan tarif CHT di tahun 2024, dengan menyesuaikan pertumbuhan ekonomi atau inflasi.

“GAPPRI berharap ke depan, IHT legal mendapatkan jaminan kepastian hukum untuk tetap hidup dan tumbuh sebagaimana diamanahkan dalam Konstitusi kita,” ujar Henry Najoan.

Sebelumnya tim peneliti Pusat Penelitian Kebijakan Ekonomi (PPKE) Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Brawijaya (FEB UB) Malang, Jawa Timur dalam kajiannya menyebutkan adanya dugaan penyebab stunting dan penyakit tidak menular (PTM), dikarenakan produk hasil tembakau (rokok) dinilai kurang tepat.

Lebih rinci, Prof. Candra Fajri Ananda Direktur PPKE FEB UB mengatakan, hasil kajian menunjukkan bahwa produk hasil tembakau seperti rokok meski memang faktor utama. Tetapi pendidikan, pendapatan, dan kualitas lingkungan masyarakat yang mendorong terjadinya stunting dan penyakit tidak menular (PTM).

Kajian itu dilakukan PPKE FEB UB untuk menyikapi pro dan kontra penyebab stunting dan PTM. Riset berbasis data primer dengan melakukan survei pada masyarakat di beberapa daerah, yakni NTT, Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI Jakarta, Banten, dan Bali.

Berdasarkan hasil survei dan analisis yang telah dilakukan dengan menggunakan random forest, faktor dominan penyebab terjadinya PTM di Indonesia adalah pendapatan, makanan dan minuman berpemanis, serta kurangnya konsumsi sayur.

Sebaliknya, berdasarkan analisis menggunakan Structural Equation Modelling (SEM) menunjukkan bahwa pendidikan, pendapatan, dan kepemilikan jaminan kesehatan memiliki berpengaruh signifikan dalam menurunkan terjadinya PTM.

“Dukungan pembiayaan kesehatan yang dilakukan oleh pemerintah juga memiliki peran besar dalam penurunan stunting, dimana belanja kesehatan melalui dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBHCHT) dan peningkatan anggaran kesehatan melalui transfer ke daerah dan dana desa (TKDD), berdampak signifikan terhadap penurunan angka stunting di Indonesia,” ucap Prof Candra dalam sebuah diskusi.

Salah satu rekomendasi PPKE FEB UB dalam kajian tesebut adalah diperlukan penguatan kolaborasi lintas pemangku kepentingan, melalui program dan kegiatan serta pembiayaan dalam penanganan PTM dan stunting.

Penguatan pembiayaan kesehatan juga perlu perbaikan dari sisi penggunaan DBHCHT di tingkat Kabupaten/kota dalam rangka akselerasi penurunan PTM dan stunting. (ant/ath/bil/ipg)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Selasa, 7 Mei 2024
31o
Kurs