
Kebijakan awal Purbaya Yudhi Sadewa Menteri Keuangan (Menkeu) RI yang langsung menggelontorkan dana Rp200 triliun ke Himpunan Bank Milik Negara (Himbara), menuai perhatian dan komentar dari kalangan ekonom.
Dana jumbo yang sebelumnya mengendap di Bank Indonesia (BI) itu, kini disuntikan ke lima Himbara yakni BRI, BNI, Mandiri, BTN, dan Bank Syariah Indonesia (BSI). Suntikan dana Rp200 triliun itu, rinciannya Rp55 triliun untuk BRI, BNI, dan Mandiri. Sedangkan dua bank lainnya, yakni BTN mendapat Rp25 triliun, dan Bank Syariah Indonesia (BSI) Rp10 triliun.
Lewat Keputusan Menteri Keuangan (KMK) Nomor 276 Tahun 2025, Purbaya yang sebelumnya menjabat Ketua Dewan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) mengatakan, langkah itu untuk menggelontorkan likuiditas ke sistem perekonomian nasional, dan memacu pertumbuhan ekonomi. Salah satunya, agar masyarakat bisa mengajukan kredit lebih mudah ke bank.
Terkait hal ini, Dr. Rumaya Batubara, Ekonom sekaligus peneliti Pusat Kajian Sosio-Ekonomi Indonesia Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga (FEB Unair), menilai langkah Purbaya ini lahir dari cara pandang makro atau helicopter view.
“Catatan saya ini, Pak Menteri ini sepertinya orang makro ya. Orang-orang makro itu dia lihatnya di atas gitu ya, kayak helicopter view gitu. Dia bukan orang yang paham kayaknya yang di mikronya. Buat orang makro, perbankan hanya alat intermediasi. Jadi (semisal) saya sebagai pemerintah, saya kasih duit ke perbankan, perbankan duitnya keluar ke sektor riil. Suku bunga rendah orang pinjam. Padahal kan enggak sesimpel itu,” ujar Rumaya di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (15/9/2025).
Menurutnya, problem utama saat ini bukan ketiadaan dana, melainkan rendahnya permintaan kredit. Oleh karena itu, Rumaya menekankan supaya strategi Rp200 triliun itu benar-benar berdampak, pemerintah harus mengombinasikannya dengan kebijakan pendamping yang memperkuat daya beli masyarakat.
Ekonom Unair itu menyebut, yang jadi masalah saat ini memang terletak pada kekuatan daya beli. Jika daya beli tidak sebanding dengan pembayaran kredit, maka ada potensi debitur kesulitan membayar.
“Kalau kayak gitu baru kelihatan bisa. Karena itu kan kebijakan-kebijakan tadi arahnya memperkuat daya beli. Kalau daya beli masyarakatnya bagus meningkat, otomatis bisnis jalan. Bisnis jalan, butuh modal baru jalan lagi,” katanya.
Ia juga menyinggung soal tantangan struktural yang menghambat ekonomi, mulai dari infrastruktur, korupsi, ketenagakerjaan, hingga regulasi impor yang dinilai merugikan industri dalam negeri. Rumaya mengatakan, problem mendasar ini harus dibenahi agar dana jumbo yang digelontorkan pemerintah itu tidak sia-sia.
Adapun masalah lain yang dirasakan bank yakni adanya risiko Non-Performing Loan atau kredit bermasalah yang tinggi. Terkadang, risiko itu melahirkan budaya tidak membayar hutang. Selain itu, bank bukan lagi single player dalam hal akses permodalan. Masyarakat kini seringkali memilih opsi pinjaman online atau ojol.
Sehingga, kata Rumaya, jika tidak ada perubahan dalam struktur dari cara perbankan, maka kebijakan Rp200 triliun itu dikhawatirkan akan sia-sia.
“Apalagi sekarang ada ada pinjol (pinjaman online). Maksudnya, kalau saya UKM, saya butuh uang ya kan? Kalau saya ke bank panjang anggunannya, ya saya pinjol aja, saya 100 juta aja bisa dapat ini. Ya kan ditawarin bola-bola sama pinjol sama ya kan?” bebernya.
Selain memperbaiki struktur, Rumaya menilai insentif fiskal seperti penurunan PPN, pemangkasan suku bunga acuan, serta tarif PPh final rendah bagi UMKM bisa membantu meningkatkan konsumsi masyarakat kelas menengah bawah.
“Kalau dengan penguatan daya beli kelas menengah bawah baru itu make sense (masuk akal). Karena tanpa penguatan daya beli itu enggak akan keserap,” tegasnya.
Dengan kombinasi suntikan likuiditas dan kebijakan pendamping yang menyentuh langsung masyarakat, Rumaya optimistis strategi awal Purbaya Menkeu dapat memberi efek nyata bagi pertumbuhan ekonomi. “Seharusnya begitu. Bismillah ya. Semoga seperti itu,” pungkasnya. (bil/iss)