
Di tengah anjloknya harga emas global sebagai dampak konflik geopolitik antara Iran dan Israel, serta kebijakan moneter ketat dari Federal Reserve (The Fed), kalangan investor aset digital mulai mengalihkan investasinya ke Bitcoin (BTC).
Menurut Antony Kusuma Vice President Indodax, dalam situasi penuh tekanan saat ini ini Bitcoin tetap bertahan di level 104.000 dolar AS, sedangkan harga emas dunia terkoreksi 2,5 persen dari harga 3.420 dolar AS pada 13 Juni 2025 turun ke 3.335 dolar AS pada 20 Juni 2025.
Sementara The Fed mempertahankan suku bunga acuan di kisaran 4,25 – 4,50 persen dan memberi sinyal bahwa penurunan suku bunga akan dilakukan secara bertahap hingga 2027, tergantung perkembangan data ekonomi dan inflasi.
“Ketahanan Bitcoin dalam situasi penuh tekanan ini menunjukkan transformasi besar dalam pola pikir investor global terhadap aset digital,” kata Antony dalam keterangannya di Jakarta, Sabtu (21/6/2025) yang dikutip Antara.
Dia menambahkan, hal itu bukan sekadar soal harga, namun tentang pasar global yang kini mulai menempatkan Bitcoin sebagai salah satu poros dalam peta strategi aset dunia.
“Ketika bank sentral semakin bersikap ketat dan geopolitik makin tidak pasti, investor mencari instrumen yang netral secara politik, terbuka, dan tidak bisa dimanipulasi. Bitcoin menjawab semua itu,” ujarnya.
Antony menambahkan, tren investasi terhadap Bitcoin terjadi peningkatan minat investor, termasuk sebagian institusi, yang tidak lagi hanya melihat Bitcoin sebagai instrumen spekulatif, tetapi juga sebagai alternatif lindung nilai di tengah ketidakpastian global.
Adapun salah satu kekuatan utama Bitcoin, lanjutnya, terletak pada ketidakbergantungannya terhadap otoritas pusat dalam pengelolaan pasokan.
Bitcoin tidak dikendalikan oleh bank sentral dan tidak bisa dicetak ulang seperti mata uang fiat. Jumlahnya terbatas hanya 21 juta koin, dan hal ini diatur langsung oleh protokolnya.
Meski begitu, ia mengingatkan harga Bitcoin tetap bisa dipengaruhi oleh sentimen pasar yang muncul akibat kebijakan moneter global atau ketegangan geopolitik.
“Namun, berbeda dengan mata uang fiat yang peredarannya bisa ditambah sesuai keputusan bank sentral, suplai Bitcoin bersifat tetap, sehingga memberi nilai protektif terhadap inflasi jangka panjang,” katanya.
Menurut dia, kondisi saat ini memperlihatkan realita bahwa instrumen-instrumen tradisional seperti emas bisa tertekan oleh kebijakan suku bunga, sementara Bitcoin justru mampu menunjukkan ketahanan dalam tekanan yang sama.
“Ada realokasi kepercayaan. Aset digital seperti Bitcoin memberi akses ke dunia tanpa batas, dengan efisiensi dan transparansi yang belum pernah ada sebelumnya,” katanya.
Di Indonesia, tambahnya, tren yang sama mulai tampak jelas, investor muda semakin sadar akan peran Bitcoin dalam diversifikasi portofolio jangka panjang, ada peningkatan minat untuk berinvestasi dengan pendekatan terencana, bukan spekulatif.
Meski begitu, Antony menekankan bahwa Bitcoin dan emas bukanlah pesaing mutlak, keduanya bisa memiliki fungsi pelindung nilai dengan cara berbeda.
“Emas punya warisan ribuan tahun, sedangkan Bitcoin menawarkan nilai strategis dalam ekonomi digital masa depan. Keduanya relevan, tergantung konteks dan kebutuhan investor,” katanya. (ant/bil/iss)