
Jaya Darmawan Peneliti Ekonomi di Center of Economic and Law Studies (Celios) mengingatkan pemerintah untuk transparan sebelum Payment ID diujicoba 17 Agustus 2025, jika tak mau ada potensi nasabah menarik uang dari bank karena rasa tidak aman.
Menurutnya wajar jika banyak masyarakat masih mempertanyakan risiko atas penerapan Payment ID yang bisa mengidentifikasi dan mencatat riwayat transaksi keuangan masyarakat secara rinci.
“Lagi-lagi dengan UU Perlindungan Data Pribadi belum lama dibuat dan masih butuh masukan banyak pihak. Karena mengingat secara manfaat harus dihubungkan dengan risiko,” ucapnya saat mengudara dalam Program Wawasan Radio Suara Surabaya, Selasa (5/8/2025).
Alasannya, masih terjadi kebocoran Nomor Induk Kependudukan (NIK), juga kebocoran data lain di baik di data pemerintah maupun swasta.
“Apalagi sektor pemerintahan. Tahun lalu ada juga hacking, kita lihat pemerintah belum mampu menghadapi situasi itu,” bebernya.
Ia menilai, seharusnya jika pemerintah ingin cek aliran transaksi keuangan, atau spesifik fiskal, bisa langsung fokus melihat pembayaran pajak orang super kaya atau perusahaan besar, bukan melakukan profiling seluruh masyarakat.
“Masih ada enggak orang super kaya yang tidak membayar itu, atau melakukan transfer dana ke luar negeri, fokus pada yang besar-besar dulu,” ungkapnya.
Padahal perusahaan besar dan orang super kaya lebih berpotensi menghindari pajak dari pada orang miskin.
“Lebih baik ke situ dulu dari pada memprofiling semua masyarakat dengan dalih ingin melihat integritas transaksi,” tuturnya.
Meski Indonesia sudah punya UU Perlindungan Data Pribadi, ia mengingatkan pemerintah harus hati-hati karena banyak kasus kebocoran data tanpa adanya ganti rugi.
Berdasarkan catatan Celios, banyak masyarakat tidak mendukung penerapan Payment ID, atau kebijakan baru begitu saja.
“Lagi-lagi masalah structural, pemerintah ingin Integritas, ingin adil, tapi dia sendiri tidak adil. Maksudnya, dia ingin mengincar dana mencurigakan, mendapat penerimaan negara dari aliran dana ini tapi tidak melakukan secara progresif dan tepat sasaran,” ungkapnya lagi.
Ditambah sederet kebijakan sebelumnya rekening tidak aktif transaksi tiga bulan akan terancam diblokir Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), yang membuat nasabah merasa tidak aman.
“Masyarakat punya hak untuk menarik uang, ditaruh di emas. Karena tidak merasa aman. Enggak dilakukan transaksi, berpotensi diblokir, dan diprofiling lebih luas,” ujarnya.
Risiko yang ditimbulkan bisa meluas, yaitu bank merugi karena jumlah masyarakat yang menyimpan uangnya berkurang, hingga kemungkinan terhambatnya pembayaran digital dan kembali ke tunai.
Ia menyarankan ke pemerintah jika ingin mengantisipasi kebocoran dana, dengan menjalin kerja sama internasional antar negara soal transparansi data pajak. Atau jika Payment ID tetap diterapkan, harus disosialisasikan setransparan mungkin.
“Jangan tumpang tindih dengan sistem keuangan lain,” tandasnya. (lta/ipg)