Selasa, 28 Mei 2024
Green Building Awareness Award

Agar Langit Biru Surabaya, Terus Terjaga

Laporan oleh Fatkhurohman Taufik
Bagikan
Bukit Hotel Singgasana. Foto : Taufik suarasurabaya.net

Bukit kecil di seberang sungai itu berselimut rerimbunan pohon. Cukup rindang, bahkan beberapa bangunan di dalamnya seolah sedang bersembunyi dari teriknya mentari. Dari kejauhan, bukit kecil yang dikelola sebuah hotel bernama Singgasana itu, tampak menjual kesejukan. Sebuah suasana yang jarang ditemui di perkotaan seperti Surabaya.


Menurut pengelolanya, 43.600 tanaman yang berasal dari 146 jenis, sengaja ditata untuk memayungi kawasan itu. Sebagai sarana pendingin udara dan penyiram tanaman, sebanyak 114 waterniser atau alat penyemprot embun air juga dipasang di beberapa sudut kawasan.

Ketika Suara Surabaya berkunjung ke kawasan itu pada Selasa (4/11/2014) siang, kawanan burung liar sesekali juga tampak beterbangan di antara ranting pohon. Beberapa burung itu bahkan ada yang turun untuk sekadar minum dan bermain di beberapa kubangan kecil air yang ada di tanah.

Gerbang dari susunan batu kali berhias rerumputan juga sengaja dipasang di depan guna menyambut setiap tamu. Saat masuk area parkir, kesan dingin alam pedesaan juga terasa dengan adanya beberapa sawah padi buatan yang dibangun di area itu. Gemericik rolak Gunungsari, yang memang tak jauh dari lokasi itu juga menjadikan hotel berkonsep resort ini benar-benar serasa di belantara hutan tengah kota.

Kesan dingin ternyata tak hanya dari banyaknya tanaman. Di setiap bangunan, jendela juga dibuat besar nan lebar sehingga tak membutuhkan penerangan tambahan jika siang hari. Bangunan tertinggi di kawasan ini juga hanya dua lantai sehingga tak perlu lagi alat bantu tangga berjalan berupa escalator maupun lift.

Satu-satunya tangga yang ada hanyalah tangga berundak manual yang disampingnya dilengkapi dengan tangga landai tak berundak untuk penyandang difabel. Jalan setapak dari batu refleksi juga selalu menghubungkan dari satu kamar ke kamar hotel lainnya.

Virtaloka, Publik Relation Hotel Singgasana mengatakan, dengan konsep resort, hotel ini hanya dibangun satu lantai kecuali untuk ruang pertemuan yang sengaja dua lantai untuk menghemat lahan. “Di sini tak ada lift, karena listrik lift itu cukup besar dan mahal,” kata dia.

Meski berada di area seluas 7 hektar, Hotel Singgasana hanya memanfaatkan lahan seluas 1,8 hektar yang digunakan untuk bangunan gedung. Selebihnya, adalah taman, kebun aneka sayuran, sawah mini dan hutan buatan.

Sebanyak 150 kamar yang dibangun di hotel ini juga berada di dalam area lahan hijau sehingga mampu membentengi suhu panas masuk kamar. Jendela kamar juga besar nan lebar dengan ukuran 2×2 meter berjumlah dua buah di masing-masing kamar sehingga setiap tamu cukup membuka jendela untuk merasakan sinar dan udara sejuk alami di siang hari.

“Dengan jendela besar dan kamar di bawah pepohonan, penggunaan AC bisa lebih jarang, lampu juga tak perlu dinyalakan jika siang. Bahkan jika nekat menyalakan lampu di siang hari, malah tidak akan nyaman,” kata Virtaloka.

Jendela ukuran jumbo yang merupakan ciri khas Hotel Singgasana, ternyata tak hanya dipasang di kamar hotel, melainkan juga di seluruh bangunan di kawasan itu. Di lobby hotel misalnya, hampir separuh lebar tembok berupa jendela kaca.

Dominasi jendela kaca di hotel tentu tak menjadikan udara di luar menjadi panas karena pengelola hotel menggunakan kaca rendah emisivitas yang memungkinkan energi matahari gelombang pendek memasuki gedung, namun di sisi lain mampu mencegah energi gelombang panjang yang dihasilkan oleh sistem pantulan tidak keluar.

Korden manual juga melengkapi setiap jendela sehingga bisa mengatur besar kecilnya cahaya yang diinginkan masuk ke dalam ruangan dan mampu mereduksi panas dari luar.

Selain mengatur jendela, penghematan energi juga dilakukan dengan mengganti seluruh pendingin ruangan (AC) dengan yang rendah energi. Selain itu, petugas hotel juga selalu mengingatkan pengunjung untuk tak berlebihan dalam memanfaatkan AC.

“Petugas biasanya akan bilang ke pengunjung untuk memanfaatkan kesejukan angin dari jendela, jika terpaksa bolehlah menggunakan AC,” kata dia. Pengurangan penggunaan AC setidaknya juga untuk mengurangi pemanasan di sekitar hotel akibat gas buang yang dikeluarkan AC tersebut.

Selain itu, penghematan juga dilakukan dengan mengganti penggunaan lampu dengan jenis LED (light-emitting diode). Meski LED memiliki watt dan ukuran yang lebih kecil dengan konsumsi energi listrik yang jauh lebih sedikit dibandingkan lampu biasa, tapi daya terang lampu ini lebih merata ketimbang lampu biasa.

Selain itu, lampu LED tidak cepat panas dan memiliki potensi yang kecil untuk terbakar sehingga cukup aman danbaik untuk kamar, maupun ruangan lainnya di hotel tersebut.

Dengan penggunaan LED, bahkan Hotel Singgasana mampu menghemat anggara listrik hingga 20 persen. Jika sebelumnya penggunaan listrik mencapai Rp360an juta perbulan, kini Hotel Singgasana hanya membayar Rp300an juta untuk pengeluaran listrik bulanannya.

Selain listrik, penggunaan air juga dihemat dengan konsep water treatment plant. Lokasi hotel yang berada persis di samping Sungai Surabaya, menjadikan Hotel Singgasana dengan mudah bisa memanfaatkan air sungai untuk keperluan mereka.

“Kami beli air sungai langsung dari Jasa Tirta, lantas kami olah yang hasilnya sungguh luar biasa karena kami bisa melakukan banyak penghematan,” kata Susilo, Manager Teknik Hotel Singgasana.

Susilo mengisahkan, suatu ketika mesin water treatment yang dimiliki Hotel Singgasana pernah mengalami kerusakan sehingga mereka harus menggunakan air dari PDAM. Hasilnya, selama satu bulan menggunakan air PDAM, mereka harus mengeluarkan anggaran mencapai Rp160 juta. Padahal dengan air dari Sungai Surabaya yang mereka masukkan ke water treatment. Per bulannya, mereka cukup mengeluarkan anggaran sekitar Rp25 juta untuk membeli air sebesar 26 ribu meter kubik dari perum Jasa Tirta.

Air dari water treatment ini, digunakan untuk seluruh kebutuhan mulai dari mandi, cuci, kolam renang, hingga siram tanaman. Khusus siram tanaman, biasanya juga menggunakan air bekas dari kolam renang sehingga mampu lebih menghemat penggunaan air.

Sarana pengolah limbah berupa instalasi pengolahan air limbah (IPAL) juga telah dimiliki sehingga air limbah yang terbuang tak sampai mencemari lingkungan sekitar.

Penghematan air di hotel ini juga dilakukan dengan cara mengganti seluruh bak mandi dengan sower. Kadar panas dari sower juga dikurangi sehingga penggunaan listrik untuk pemanas juga bisa dihemat.

Selain itu, penghematan energi di hotel ini juga dilakukan dengan menggunaan bahan-bahan bangunan yang green. Diantaranya pemanfaatan batako, kayu dan gipsum yang green, serta penggunaan cat atau coating dinding dengan warna-warna yang soft.

Dengan berbagai material yang green, bangunan diharapkan secara dinamis mampu memberikan dampak terhadap penghematan listrik, penghematan air, meningkatkan kesehatan dan kenyamanan, dan tentunya bisa meningkatkan efisiensi manajemen dalam merawat bangunan.

Green Building Tak Sekadar Penghematan

Hotel Singgasana, merupakan satu dari 59 gedung yang masuk penjaringan Green Building Awareness Award(GBAA), sebuah ajang penghargaan bagi gedung hijau yang digagas pemerintah kota Surabaya sejak 2013 silam.

Selain Hotel Singgasana, ada beberapa gedung yang juga menerapkan konsep green building. Salah satunya adalah Grha Wismilak yang berada di Jalan Raya Darmo. Meski masuk sebagai gedung cagar budaya dengan SK Walikota nomor 188.45/251/402.104/1996, namun konsep sebagai bangunan hijau tetap dipertahankan bahkan ditambah oleh pengelola gedung ini.

Antonius Teguh Wijayanto, Manajer Pelatihan dan Pengembangan Grha Wismilak menuturkan, konsep bangunan hijau sebenarnya sudah diterapkan sejak bangunan ini didirikan pada tahun 1920an. Konsep bangunan yang tinggi disertai banyak jendela lebar adalah salah satu contoh bagaimana bangunan ini sudah didesain berkonsep ramah lingkungan sejak awal pendirian.

“Kami tinggal merawat yang ada dan mempertahankannya,” kata Anton. Karenanya, ketika pengelola memutuskan untuk menambah beberapa bangunan di sekitar bangunan utama, konsep serupa juga diaplikasikan dengan cara membangun dengan model yang sama dengan bangunan utama.

Ada beberapa keunikan yang ada di gedung ini diantaranya adanya lorong khusus di lantai dua yang berfungsi sebagai sirkulasi udara dan sebagai sarana masuknya cahaya dari luar. Gedung ini juga telah memiliki IPAL sehingga mampu menghemat penggunaan air.

Sementara itu, tak hanya soal gedung, pegelola juga menerapkan kultur ramah lingkungan bagi setiap pegawai yang ada di kantor itu. “Caranya, kami menekankan untuk ramah lingkungan misalkan dengan pengurangan penggunaan kertas, jika bisa lewat email ya ndak usah pakai kertas,” kata dia.

Seluruh pegawai di Grha Wismilak juga diberikan pengetahuan mengenai konsep green building sehingga mereka secara sadar bisa melakukan penghematan energi dengan mandiri.

Maztri Indrawanto, juri GBAA menuturkan apa yang dilakukan hotel Singgasana dan Grha Wismilak adalah bagian dari upaya untuk terus memperbanyak gedung ramah lingkungan sesuai konsep green city yang dicanangkan pemerintah Kota Surabaya.

Membangun gedung, kata anggota Ikatan Arsitek Indonesia ini, memang tak bisa sembarangan. Bahkan dalam undang-undang nomor 28 tahun 2002 dan peraturan daerah nomor 7 tahun 2009 tentang pembangunan gedung, disebutkan dengan jelas jika gedung haruslah memenuhi kaidah keamanan, kenyamanan dan ramah lingkungan.

Jika bangunan masih tahap perencanaan, pemerintah kota bisa mengarahkan menuju konsep green building ketika masih proses pengurusan izin mendirikan bangunan. Tapi jika bangunan tersebut sudah lama berdiri, yang bisa dilakukan hanyalah mengimbau agar pengelola gedung atau bangunan secara berkala mengganti beberapa komponen menjadi ramah lingkungan.

Dalam program green building ini, pemerintah juga terus mendorong bagaimana bangunan yang ada bisa melakukan efisiensi dan konservasi energi, konservasi air, siklus material, manajemen lingkungan, tepat guna lahan, dan mengutamakan kesehatan dan kenyamanan dalam ruangan. Caranya?, dengan melakukan evaluasi bersama bagaimana memanfaatkan barang-barang yang ada.

Penggunaan bahan bangunan yang ramah lingkungan juga terus didorong sehingga gedung tak hanya aman melainkan juga nyaman dan tak merusak lingkungan sekitar. “Kami juga mendorong bagaimana bahan yang digunakan tidak menyebabkan panas di dalam dan menggangu kenyamanan yang di luar gedung,” kata Maztri.

Selain itu, beberapa fasilitas penunjang gedung ramah lingkungan juga harus dibangun. Misalnya setiap gedung harus terhubung sehingga memudahkan pejalan kaki tak perlu naik motor. Parkir sepeda juga harus disediakan. Begitu juga untuk kaum difabel juga harus disediakan berbagai fasilitas misalkan dengan adanya tangga khusus difabel.

Maztri mengatakan, dari sisi ekonomi, green building sebenarnya sangat menguntungkan bagi pengelolanya. Selain menjadi bangunan yang nyaman, konsep green building juga menghemat pengeluaran gedung. Dengan biaya perawatan yang murah, otomatis biaya yang dibebankan ke pengunjung juga rendah dan membuat pengunjung datang kembali.

“Dari sisi ekonomi, operasional gedung yang belum hijau jadi boros. Ujung-ujungnya akan dibebankan ke pengunjung. Sebaliknya, jika sudah sadar konsep hijau, maka biayanya akan murah, pengunjungpun juga tak menanggung beban,” ujarnya.

Bahkan, green building sebenarnya tak sekadar penghematan, melainkan ada nilai estetika di dalamnya. Harry Sunarto, Ketua IAI Jawa Timur mengatakan green building harus menjelaskan fungsi yang utuh dari tata ruang dan gerak manusia di dalam gedung itu.

Dia mencontohkan, bagaimana fungsi teras di rumah kuno yang mampu menciptakan penghuninya nyaman sambil duduk-duduk menghirup udara segar tanpa perlu pendingin udara, maupun lampu.

Harry mengatakan, green building jangan hanya berfokus pada masalah ekologi, tapi juga harus memperhatikan masalah keindahan dan keharmonisan antara struktur bangunan dan lingkungan alamiah, serta harus selalu memperbaiki lingkungan sekitar.

Menuju Surabaya Kota Hijau Tahun 2020

Maria Anityasari, pakar lingkungan dari ITS mengatakan konsep green building yang kini sedang digalakkan di Surabaya sebenarnya bagian dari langkah awal dari sebuah perjalanan panjang untuk menuju green city dan eco city.

Dia mencontohkan, jika gedung-gedung dibiarkan tanpa konsep hijau, maka secara tak sadar gedung itu akan menyumbang pemanasan global. “Gerakan ini tak sekadar mengubah gedung jadi hijau, tapi bagaimana mengubah kesadaran masyarakat Surabaya akan pentingnya bangunan hijau,” ujar maria.

Untuk bisa seperti itu, yang harus dilakukan yakni memberikan pengetahuan, acuan dan pedoman, serta memberikan pendampingan teknis bagi pengelola gedung. Program GBAA sendiri didesain sedemikian rupa sehingga mampu mewujudkan mimpi Surabaya sebagai eco city.

Menurut Maria, guna menunjang eco city, selain menerapkan green building setidaknya juga harus menjalankan konsep green planning and design, green open space, green transport, green community, green waste, green water, dan green energy.

Dwija Wardhana, Kepala Bidang Sarana dan Prasarana, Badan Perencanaan Pembangunan Kota (Bappeko) Surabaya mengatakan, bangunan memberikan kontribusi yang besar terhadap efek rumah kaca. Karenanya green building ini adalah sebuah prioritas agar kualitas lingkungan di Surabaya menjadi lebih baik.

Untuk mendorong terwujudnya green building, pemerintah saat ini juga terus menjadikan bangunan-bangunan milik pemerintahan sebagai contoh penerapan gedung ramah lingkungan ini. Seluruh gedung pemerintahan misalnya, saat ini sudah mengganti seluruh lampunya dengan yang hemat energi jenis LED. Penggunaan AC juga dikurangi dengan memanfaatkan sirkulasi udara dari jendela.

Bagi gedung-gedung yang menerapkan green building, pemerintah juga menjanjikan akan memberikan beberapa insentif diantaranya dengan pengurangan pajak bumi dan bangunan (PBB) hingga 50 persen. “Kita sedang susun aturannya, nanti insentifnya akan berbeda-beda tergantung gedungnya,” kata dia.

Insentif ini, setidaknya akan meniru aturan yang sama yang kini diterapkan bagi gedung cagar budaya. Bagi gedung yang tak lakukan green building, kelak secara berkala akan diumumkan ke publik. Dengan reward and punishment seperti ini, pengelola gedung diharapkan secara mandiri tergerak untuk mewujudkan gedung yang ramah lingkunan.

Tri Rismaharini, Walikota Surabaya mengatakan, pada jangka pendek, konsep green building ternyata bisa sangat menguntungkan. Dia mencontohkan, apa yang dilakukannya saat mengganti seluruh lampu di Balai Kota dengan lampu LED. “Investasi untuk beli lampu saat itu memang mahal hingga Rp30 juta, tapi setelah kami hitung tiga bulan saja investasinya sudah balik modal karena penghematan listrik sebulannya mencapai Rp10 juta,” kata Risma.

Untuk mewujudkan penghematan ini, gedung-gedung milik pemerintah juga terus berbenah, taman-taman kini tak hanya dibangun di ruang terbuka, melainkan juga di setiap sudut bangunan yang kosong. Di atap-atap gedung misalnya, saat ini tampak hijau dengan tanaman lee kwan yew yang dedaunannya menjuntai hingga ke tanah. Taman di atas gedung ini tak hanya terlihat di area balai kota, tapi juga di beberapa gedung lainnya semisal di kantor Bappeko.

Tak hanya memperbanyak taman dan mengganti lampu hemat energi, balai kota saat ini juga membangun dua IPAL yang diletakkan di sisi kanan dan kiri balai kota dengan kapasitas masing-masing 40 meter kubik. Ipal senilai Rp150 juta itu ditargetkan sudah rampung terbangun pada pertengahan Desember mendatang.

“Ini tidak hanya untuk menampung air hujan tapi juga sebagai pengolah limbah dari toilet,” kata Risma. Limbah yang sudah diolah, nantinya akan diperuntukkan sebagai sarana untuk menyirami tanaman yang ada di sekitar balai kota serta untuk sarana pemadaman api bagi PMK.

Selain sarana fisik, kultur birokrasi kerja juga terus dibenahi. Semua ini, kata Risma, dilakukan semata untuk lebih menyejukkan Surabaya dengan target Surabaya menjadi eco city pada tahun 2020 mendatang.

Risma menyadari, Surabaya selama ini tak memiliki kekayaan alam yang melimpah yang bisa dibanggakan untuk mendatangkan wisatawan. Yang ada hanyalah gedung perkantoran, pabrik dan mall. Dan semua itu tentunya tidak akan menjadikan kota ini menarik jika udara kota tak sehat dan suasana panas terus menyelimuti kota.

Secara sederhana, Risma mencontohkan sehat tidaknya udara di Surabaya bisa terlihat dari langitnya. “Jika langit biru, berarti udara Surabaya menyehatkan, tapi jika langit sudah putih, berarti udara tak sehat, penghijauan harus digalakkan. Dan green building ini adalah salah satu cara mewujudkan langit Surabaya tetap biru,” ujar Risma. (fik)

Teks Foto :
-Suasana luar Hotel Singgasana
-Jendela loby Hotel Singgasana
-Water treatment yang dimiliki Hotel Singgasana
-Grha Wismilak
-Tabel

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Kecelakaan Bus di Trowulan Mojokerto

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Surabaya
Selasa, 28 Mei 2024
32o
Kurs