Senin, 11 November 2024

Demi Visi 2030, Saudi Membolehkan Perempuan Tidak Berjilbab

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Seorang anggta staf wanita Divisi Teknik di Saudi TV, Ghozal Alqabbani (kedua kanan) tengah bekerja di antara rekan sekantornya. Foto: Antara

Kerajaan Arab Saudi kini sedang memasuki era modernisasi di hampir seluruh sisi kehidupan. Semua ini tak lepas dari upaya mewujudkan Visi 2030 yang telah diluncurkan oleh Putra Mahkota Muhammad bin Salman, beberapa waktu lalu.

Dilansir dari Antara, visi tersebut menegaskan keinginan Arab Saudi untuk menjadi pusat dunia Arab dan Islam, kekuatan investasi dunia, dan pusat yang menghubungkan tiga benua, yakni Asia, Afrika dan Eropa.

Sejumlah langkah telah dan akan diambil oleh Pemerintahan Raja Salman guna mewujudkan misi tersebut. Langkah-langkah tersebut tentu juga mempengaruhi perubahan budaya di negeri itu.

Salah satu langkah itu yang cukup mengejutkan dunia adalah diberikannya kesempatan yang luas kepada para wanita untuk turut serta menyukseskan program-program pembangunan di segala bidang. Salah satu yang paling mengejutkan yang dijadikan langkah modernisasi di mana para perempuan bisa bekerja dengan memakai busana yang disukai selama mereka tetap menjaga kesopanan.

Sebelumnya, masyarakat dunia mengetahui bahwa para perempuan di Arab Saudi wajib mengenakan jilbab yang menutupi seluruh bagian tubuh mereka ketika beraktivitas di luar rumah. Bahkan, gerak kaum wanita di tempat-tempat umum, termasuk di tempat kerja, juga sangat dibatasi.

Aturan tersebut sesungguhnya sejalan dengan Syariat Islam yang juga mengatur busana perempuan Muslim dan bagaimana mereka beraktivitas di luar rumah, serta berinteraksi dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah dengan mereka atau yang bukan mahram.

Dalam ajaran Islam, perempuan Muslim yang telah dewasa wajib mengenakan jilbab dan kerudung yang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Busana Muslim itu harus terbuat dari bahan yang tebal dengan ukuran yang besar sehingga tak akan menampakkan warna kulit dan bentuk atau lekuk tubuh orang yang mengenakannya.

Para wanita juga wajib mengenakan busana tertutup itu saat keluar rumah dan ketika bertemu dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat dengan mereka.

Namun, Pemerintah Arab Saudi kini tak mewajibkan penerapan peraturan mengenai busana Muslim dan aktivitas para perempuan tersebut. Bahkan, tidak ada larangan bagi wanita di Arab Saudi soal bagaimana mereka berpakaian dan mereka boleh tidak mengenakan busana Muslimah, seperti hijab, cadar, nikab atau burka, termasuk di tempat kerja mereka.

Khaleed A.A. Al Ghamdi, salah seorang pejabat yang bertanggung jawab atas media internasional pada Kementerian Budaya dan Informasi Pemerintah Arab Saudi, baru-baru ini di Riyadh mengatakan, adalah hak para wanita Arab Saudi untuk mengenakan busana yang mereka sukai.

Khaleed menambahkan, Majelis Ulama dan komunitas agama di negara itu dapat menerima cara bagaimana wanita berbusana karena hal ini tidak bertentangan dengan program modernisasi pemerintah.

“Di antara para ulama yang setuju dengan modernisasi Saudi tersebut adalah (Sheikh Abdur-Rahman) As-Sudais (Presiden Masjidil Haram) dan Sheikh Saleh Al-Talib (salah seorang imam di Masjidil Haram,” kata Khaleed.

Mengenai ulama yang tidak setuju dengan kebijakan pemerintah Saudi tentang modernisasi itu, dia mengakui bahwa memang ada ulama yang berbeda pendapat dengan pemerintah. Ini dikarenakan masyarakat Arab Saudi memiliki hak mereka masing-masing untuk berpendapat selama mereka tidak menyakiti orang, namun mereka bisa mengkritisi sistem yang dijalankan pemerintah.

“Ulama besar Islam seperti Imam Hambali dan Imam Syafi’i juga memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa hal, namun mereka tidak bisa memaksakan pendapat mereka mengenai suatu hal kepada orang lain,” kata Khaleed, seraya menambahkan bahwa para ulama yang mereka anggap terlalu konservatif tidak mewakili kebijakan pemerintah.

Oleh karena itu, aturan mengenai busana perempuan Muslim yang berkaitan dengan bentuk dan warna juga tak bisa dipaksakan kepada kaum wanita di negara tersebut.

Ghozal Alqabbani, salah seorang pegawai Departemen Teknik TV Saudi, adalah satu contoh perempuan Saudi yang mengenakan busana sesuai keinginannya, tanpa ada paksaan dari pihak mana pun karena tidak ada lagi peraturan pemerintah yang mengatur hal tersebut.

“Jadi, kerja saja, jangan takut dengan apa yang Anda lakukan,” kata lulusan Universitas Alfaisal itu seraya mengungkapkan kegembiraannya dapat bekerja sebagai insinyur di TV Saudi.

Modern

Sebagai bagian dari pengembangan budaya menuju Visi Kerajaan 2030, pemerintah Saudi memiliki Otoritas Budaya Umum yang berurusan dengan pengembangan bioskop, teater, musik, seni visual, dan sastra.

Ahmed F. Almaziad, Pemimpin Eksekutif di Riyadh, baru baru ini mengatakan otoritas Kebudayaan Umum bertanggung jawab untuk mengembangkan industri sinema, seni teater, seni musik tradisional dan modern, seni visual dan sastra.

“Peran kami adalah menciptakan ekosistem di mana orang-orang, terutama yang berasal dari generasi muda menyukai kegiatan budaya semacam itu dan mereka didorong untuk mengembangkan kreativitas mereka sendiri,” kata Ahmed yang mencoba untuk menggabungkan bakat anak muda dari komunitas lokal, regional dan global.

Dalam upaya untuk mengejar perkembangan seni modern, pihaknya diharapkan membuat program pertukaran internasional di bidang budaya guna menciptakan persepsi mengenai Arab Saudi yang modern. (ant/tna)

Berita Terkait

Surabaya
Senin, 11 November 2024
27o
Kurs