Jumat, 17 Mei 2024
Banjii Jawa Timur

Pakar Lingkungan: Galakkan Lagi Program Satu Desa Satu Embung

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Puluhan truk dan kendaraan bermotor terjebak antrean akibat banjir yang menggenangi kawasan Jalan Raya Pantura Kraton, Pasuruan, Jawa Timur, Senin (29/4/2019). Foto: Antara

Banjir yang terjadi akibat hujan deras yang melanda di beberapa wilayah di Jawa Timur, menurut Suparto Wijoyo Pakar Hukum Lingkungan Universitas Airlangga (Unair), sudah dapat diprediksi. Hal ini dikarenakan adanya deforestasi atau penghilangan hutan alam sebagai daerah penyerapan air.

Menurutnya, hujan deras bukanlah penyebab adanya banjir, karena banjir sejatinya adalah rahmat yang tidak mungkin mendatangkan bencana.

Ia mencontohkan salah satu banjir bandang yang ada di Bengkulu pada Sabtu (27/4/2019) kemarin. Menurutnya, banjir di Bengkulu sudah dapat diprediksi karena banyaknya tanah di sekitar sungai Musi. Dengan adanya sedimentasi yang tinggi, maka juga akan dibarengi dengan luapan yang besar. Begitu juga yang terjadi di Jawa Timur.

“Di Jawa Timur, deforestasi (penghilangan hutan,red) sangat tinggi. Saat ini hampir 300 ribu hektar hutan mengalami deforestasi dan hanya 14 persen diantaranya yang lestari, sisanya 84 persen terancam masuk di zona merah,” kata Suparto kepada Radio Suara Surabaya, Selasa (30/4/2019).

Menurut Suparto, dampak dari deforestasi hampir dialami banyak daerah di Jawa Timur. Sehingga, banjir saat ini tidak hanya terjadi di kota besar dan padat penduduk, tetapi juga di daerah-daerah yang sebelumnya jarang terjadi banjir.

“Mulai dari wilayah Banyuwangi dan Jember, yang sebenarnya tidak semata-mata urusan pertambangan saja tapi deforestasi, kemudian bergeser di Blitar, sampai di Trenggalek, Tulungagung, Pacitan, dan efeknya sampai di Madiun, Nganjuk, Ngawi, Tuban dan semalam itu, Lamongan itu juga ada banjir besar,” katanya.

Untuk itu, ia menyarankan kepada pemerintah provinsi untuk membuat suatu sistem terpadu menanggulangi banjir, seperti program “1 Desa 1 Embung” yang diadopsi saat kerajaan Majapahit. Dengan begitu, hujan dapat dipanen menjadi berkah, bukan malah menjadi momok menakutkan yang akan mendatangkan bencana.

“Setiap kampung kita harus punya embung. Kan dulu ada daerah-daerah yang namanya Kedungdoro, Kedung Baruk, itu kan dulu karena ada kedungnya (telaga),” ujarnya,

Ia berharap dengan adanya kedung di setiap kampung, nantinya masyarakat dapat memanen hujan dan kampung dapat menjadi sumber ekonomi kreatif bagi masyarakat.(tin/rst)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Jumat, 17 Mei 2024
31o
Kurs