Kamis, 28 Maret 2024

Mandiri Pangan dengan Kearifan Lokal di Tengah Perkotaan

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Berkebun memanfaatkan lahan sempit di kawasan perumahan secara organik dengan ilmu bertani kearifan lokal mampu mengantar pada kemandirian pangan. Foto: Facebook Komunitas Sahabat Bumi

Sisa lahan di beranda rumahnya, di Perumahan Delta Tama VI, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, tidak bisa dibilang luas. Tetapi, ketika butuh sayuran seperti Kangkung, Bayam, atau Sawi Sendok yang populer disebut Pakcoy, Popi Arisanti tak perlu beli.

Semua sayur itu tersedia di rumahnya. Tertata rapi dalam puluhan kantong polybag dan pot di atas rak-rak kayu. Mereka bersemi bersama tanaman lain seperti Kacang Panjang, Buncis, Cabai, Tomat, Gambas, Okra, Kemangi, Seledri, juga tanaman Serai, Jahe, Kunir, dan Lengkuas.

Popi juga punya Pohon Jeruk Purut dan sedang merawat Pohon Salam yang mulai bertunas. Dia bahkan berhasil merawat Paprika di sejumlah polybag yang sudah berbuah. Semua sayur dan buah itu dikonsumsi sendiri. Tidak jarang dia bagikan kepada tetangga.

“Kebutuhan sayur dan bumbu-bumbu itu memang tidak perlu cari di pasar. Sudah ada di rumah. Kayak daun jeruk itu, kadang, kan, kurangnya cuma sedikit aja, masak harus cari ke pasar? Saya juga sering lupa beli seledri. Kalau ke pasar beli barang cuma sedikit, kan, buang-buang waktu,” katanya.

berkebun-di-rumah
Popi Arisanti peserta Program Kebun Rumah yang telah menikmati kemandirian pangan. Foto: Facebook Komunitas Sahabat Bumi

Semua tanaman di rumahnya organik. Sejak Februari lalu dia mulai menanam tumbuhan tanpa memakai bahan pupuk atau pestisida yang mengandung bahan kimia. Dia pun melakukan metode tanam yang bikin tanamannya bisa terus dipanen sesuai kebutuhan keluarganya.

“Kangkung itu masa panennya sekitar 21-27 hari sejak ditanam. Panennya bukan dicabut. Dipotong. Kira-kira 10 sentimeter dari akarnya, nanti dia akan terus tumbuh lagi. Beberapa kali panen baru dibongkar tanahnya. Kalau kangkung, saya sudah empat atau lima kali panen,” ujarnya.

Untuk tanaman seperti Sawi Sendok, kata Popi, masa panennya lebih panjang. Antara 2,5 bulan sampai tiga bulan. Karena itu dia akui, baru dua kali dia memanen Pakcoy. Pertama saat Ramadan, kedua di akhir Juni.

Kuantitas hasil panennya sudah terbilang lumayan. Dari 12 polybag Kangkung yang ada, dalam sekali panen, dia bisa dapat lebih dari satu kilogram. “Kalau kami makan sendiri, ya, kebanyakan. Seringnya saya kasih ke tetangga,” katanya.

Program Kebun Rumah

Pada dasarnya, Popi memang suka berkebun. Sudah lama dia ingin memenuhi halaman rumahnya dengan bermacam tanaman. Sejak sekitar awal Februari lalu, ketika dia mengikuti program pelatihan Kebun Rumah yang digelar Komunitas Sahabat Bumi (KSB), girahnya untuk berkebun membuncah.

Wulansary Ketua sekaligus Pendiri KSB menjelaskan, program Kebun Rumah ini memang ditujukan agar para peserta mampu mandiri pangan secara berkelanjutan. Total ada 33 orang peserta di kawasan Kompleks Perumahan Deltasari, Waru, Kabupaten Sidoarjo yang mengikuti program ini.

“Sebetulnya lebih banyak, tapi kami filter. Kami hanya ingin yang serius. Nah dari 33 petani itu kami kasih sistem. Ada pembagian kelompok. Kangkung tiga kelompok, Bayam tiga kelompok, Bawang Merah tiga kelompok,” kata Sarjana S2 Kajian Ilmu Budaya Universitas Airlangga itu.

Tidak hanya mengajarkan cara menanam, pegiat KSB juga mengajarkan manajemen produksi. Mulai dari pencatatan waktu tanam, perhitungan modal awal, juga estimasi waktu panen. Pada akhirnya, pelajaran terpenting yang harus dikuasai para petani adalah kesabaran.

peserta-program-kebun-rumah
Salah satu peserta Program Kebun Rumah menikmati hasil bercocok tanam di tengah Pandemi Covid-19. Foto: Facebook Komunitas Sahabat Bumi

Mereka harus bersabar, karena karakteristik tanaman organik memang berbeda dengan menanam pakai pupuk kimia dan pestisida. Di awal-awal penanaman, hasilnya memang tidak sebagus yang ditanam dengan pupuk kimia serta rawan terserang hama.

“Banyak yang beranggapan tidak sesuai ekspektasi. Memang begitu. Di awal memang tidak sebagus yang pakai kimia. Tetapi lebih long lasting. Ketika yang kimia jangka waktu hidupnya pendek, yang organik jauh lebih panjang dan volumenya terus bertambah,” ujarnya.

Para petani peserta program, termasuk Popi, membuktikan sendiri. Seiring waktu, mereka dapati hasil panen meningkat sampai 300 persen. Ditambah lagi, mereka juga dibekali ilmu sistem tanam anti-paceklik warisan leluhur yang mulai ditinggalkan banyak petani.

Melestarikan Kearifan Lokal

Di awal program, banyak peserta Kebun Rumah yang bertanya-tanya. Kenapa tidak menanam sekaligus, biar ketika panen bisa foto bareng seru-seruan terus diunggah di media sosial? Wulansary, Ketua KSB menegaskan, bukan itu tujuannya.

“Enggak, bukan itu. Kami mau mengajarkan kearifan lokal,” kata perempuan yang mengawali aktivitas KSB sejak 2014 di Jakarta dengan gerakan peduli lingkungan seputar sampah dan cara pengelolaan sampah rumah tangga itu.

“Saya belajar pertanian organik ini bukan melulu dari sampah, tapi juga menyeluruh tentang kearifan lokal nusantara. Ilmu pertanian lokal warisan leluhur itu ternyata sudah banyak ditinggalkan, terutama petani kita,” ujarnya.

“Saya menyebutnya sistem blok. Saya belajar ini dari pondok pesantren di Nganjuk. Jadi kalau kita punya lahan luas, jangan ditanam sekaligus. Tanam sesuai kebutuhan. Sebelum tanam, berhitung dulu, berapa jiwa yang mau dihidupi di rumah kita?” Katanya.

Wulan yang pernah menuntaskan tesis  bertema Gerakan Mandiri Pangan itu mencontohkan, misalnya ada 10 polybag untuk tanaman Kangkung yang bisa dipanen dalam waktu 21 hari. Untuk satu keluarga, dua polybag Kangkung sudah cukup untuk konsumsi sendiri.

sistem-blok
Tanaman Pakcoy yang ditanam Popi Arisanti memanfaatkan lahan seadanya dengan sistem blok. Foto: Istimewa

Maka, pada minggu pertama penanaman, hanya dua dari 10 polybag yang disemai biji Kangkung. Minggu berikutnya, dua polybag lagi. Demikian seterusnya. Sehingga ketika 21 hari, pada minggu ketiga atau keempat, petani bisa memanen dari polybag pertama. Pekan depannya, panen dari polybag kedua.

“Nanti di periode ketiga, tetap bisa panen, Jadi tidak ada yang namanya kehabisan stok. Dulu leluhur, kan, kayak gitu, enggak ada yang namanya masa paceklik,” ujar Wulan yang kini mengajar di program studi Film dan Televisi Universitas 45 Surabaya.

Wulan yang dulu pernah berkecimpung di dunia pertelevisian di Jakarta ini bilang, ilmu bertani dengan sistem blok seperti itu sudah ditinggalkan oleh hampir seluruh petani di Jawa setelah meluasnya program Revolusi Hijau di masa orde baru.

“Karena sistem kapitalis masuk ke pertanian sehingga cara kerja kearifan lokal hilang. Petani asli sekarang juga enggak paham. Mereka tahunya panen akeh (panen banyak), dapat duit banyak saat dibeli tengkulak, duitnya untuk hal-hal konsumtif. Dia lupa untuk dirinya sendiri,” katanya.

Mengenali Superfood

Program Kebun Rumah juga mengenalkan beragam tanaman makanan super (superfood), yang seiring waktu, sudah tidak banyak yang bisa mengenalinya. Salah satu contohnya ciplukan. Belakangan, tanaman ini sedang naik daun.

Wulansary mengatakan, dari data yang dia dapatkan dari salah satu peneliti yang tergabung di KSB, Indonesia sudah kehilangan 80 persen varietas superfood lokal. Tersisa hanya 20 persen sayur-sayuran yang banyak dijumpai di pasar tradisional.

“Benih-benih lokal superfood yang macam-macam itu banyak dianggap rumput liar. Ciplukan itu salah satunya. Tapi ada lainnya seperti Krokot, Pegagan, Pete China, yang sebenarnya tumbuh liar di mana-mana tapi dianggap gulma dan dibuang. Padahal Pete China enak dipecel,” katanya lalu tertawa.

Melalui program Kebun Rumah itulah Wulan bersama rekan-rekannya di komunitas mengenalkan benih-benih itu kepada peserta sebagai upaya menciptakan ketahanan pangan. Sekaligus, menggiatkan kembali aktivitas foreging yang malah ngetren di luar negeri.

“Di luar negeri sedang ngetren, lho, foreging itu. Kalau di kita istilahnya ngeramban. Ambil makanan secukupnya saat dibutuhkan. Nah, kalau sudah kenal superfood dan terbiasa ngeramban, kalau sampai kejadian nih, krisis pangan, mereka bisa mengatasi,” ujarnya.

Mandiri ketika Pandemi

Tidak hanya Popi, Sudarsih yang juga peserta Program Kebun Rumah mengakui, ilmu berkebun itu sangat bermanfaat di tengah Pandemi Covid-19. Salah satunya, biaya untuk kebutuhan makan sehari-hari berkurang.

“Saya rasa banyak manfaatnya. Bisa ambil sayur di kebun sendiri walaupun tidak banyak. Untuk skala dapur sendiri sudah cukup,” kata ibu rumah tangga yang tinggal di Deltasari Indah Blok O, Kecamatan Waru, Kabupaten Sidoarjo.

Sama seperti Popi yang juga tergabung di kelompok Kangkung di program Kebun Rumah, Sudarsih mulai menanam beragam tanaman seperti Bayam Merah, Pakcoy, Sawi, Terong, dan bermacam tanaman lainnya setelah lima bulan mengikuti program.

“Kangkung saya sudah enam kali panen. Sawi baru dua kali kemarin. Kendalanya, matahari kurang panas. Karena faktor lokasi rumah sih. Untuk sayur-sayuran, kan, memang harus langsung kena matahari,” ujarnya.

Kalau ada tanaman yang tidak dia punya, misalnya Bawang Merah, Sudarsih tinggal menanyakan kepada peserta lain yang memang sejak awal masuk kelompok petani Bawang Merah di Program Kebun Rumah.

“Kan, kami ada beberapa kelompok, ya. Umpamanya saya, dulu di kelompok Kangkung. Ada juga kelompok Bawang Merah. Kalau butuh, ya, tinggal tukar dengan teman lainnya,” katanya.

Ya, para peserta Kebun Rumah pun kembali menerapkan sistem barter. Tidak hanya itu, sejak awal mengikuti program ini, ada perjanjian sebagian hasil panen akan dijual di toko Zona Sehat KSB.

mandiri-pangan
Sudarsih (paling kanan) bersama Popi Arisanti (tengah) dan rekan mereka di Program Kebun Rumah saat pertama kali panen Kangkung sebelum Pandemi Covid-19. Foto: Istimewa

Popi Arisanti bilang, untuk kalangan warga di Perumahan Deltasari saja, peminat sayuran organik jumlahnya cukup banyak. Dia sendiri, yang berhasil membudidayakan seledri organik menikmati hasilnya secara ekonomi.

“Ternyata seledri ini banyak dicari. Karena tingkat kesulitannya memang tinggi, dan saya berhasil menanamnya. Saya jual per polybag dengan harga lumayan mahal, tapi tetap banyak yang cari,” katanya.

Selain mandiri secara pangan dan menambah pemasukan, Popi dan Sudarsih mengakui, kebiasaan berkebun membawa kesehatan jiwa bagi mereka sehingga tidak turut stres karena tekanan akibat pandemi.

Sudarsih mengaku, setiap pagi dia bisa melihat kebunnya yang serba hijau dan membawa suasana segar. Sementara, menurut Popi, yang lebih penting dari menjadi bahagia adalah pengalaman yang dia dapatkan dari giat berkebun.

“Saya pertama kali melihat Kangkung berbunga, ya, dari kebun saya sendiri. Melihat Paprika berbuah dari tangkainya, juga pertama kali dari hasil yang saya tanam di rumah,” katanya.

Energi positif dari berkebun itu ternyata menular. Popi maupun Sudarsih kini menularkan keinginan berkebun itu ke sejumlah tetangga mereka. Demikian halnya 31 peserta Kebun Rumah lain di kawasan Perumahan Deltasari.

“Karena rumah saya jadi lewatan orang ke pasar, banyak juga yang akhirnya ikut-ikut berkebun. Ada mungkin tiga rumah yang mulai berkebun di blok saya,” kata Sudarsih.(den/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Kecelakaan Mobil Porsche Seruduk Livina di Tol Porong

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 28 Maret 2024
31o
Kurs