Sabtu, 20 April 2024

Tolak RUU Cipta Kerja dan Serukan Darurat PHK, Buruh Luruk Kantor DPRD Jatim

Laporan oleh Denza Perdana
Bagikan
Buruh saat melintas di kawasan Rungkut Industri, Surabaya. Foto: Samuel Raymond via WhatsApp Suara Surabaya Media

Kurang lebih 5.000 massa buruh dari berbagai serikat yang tergabung dalam Perwakilan Daerah Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (Perda KSPI) Jawa Timur bergerak ke Kantor DPRD Jatim di Jalan Indrapura, Surabaya, Selasa (25/8/2020). Mereka akan berunjuk rasa menolak Omnibus Law dan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) secara sepihak oleh perusahaan.

Ribuan buruh atau pekerja dengan bendera masing-masing Serikat Pekerja ini terpantau sudah berkumpul di depan Kebun Binatang Surabaya (KBS) pada pukul 12.15 WIB. Mereka akan melanjutkan perjalanan menuju ke Jalan Indrapura dan melakukan rangkaian orasi unjuk rasa.

Nurudin Hidayat Wakil Ketua Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Federasi Serikat Pekerja Metal Indonesia (FSPMI)-KSPI Jatim bilang, lima ribu buruh yang turun ke jalan ini berasal dari daerah industri di Jatim. Baik dari Surabaya, Sidoarjo, Gresik, Mojokerto, Pasuruan, Probolinggo, Jember, Lumajang, Jombang, Lamongan, dan Tuban.

Ada enam isu atau tuntutan yang akan mereka sampaikan dalam berbagai orasi dan aksi lainnya di depan Kantor DPRD Jatim. Pertama, mereka menyerukan penolakan terhadap Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja (Omnibus Law). Menurut mereka, seharusnya pemerintah fokus pada penanganan Pandemi Covid-19 daripada RUU Cipta Kerja.

“Karena isi dari RUU Cipta Kerja, khususnya di klaster ketenagakejaan, banyak mereduksi nilai-nilai kesejahteraan pekerja/buruh yang sudah diatur di Undang-Undang 13/2003 tentang Ketenagakerjaan. Sehingga, kalau RUU Cipta Kerja disahkan, akan berpotensi hilangnya upah minimum, hilangnya pesangon, dan lain-lain,” katanya.

Tidak hanya itu, Nurudin memaparkan, kontrak kerja terus-menerus tanpa batas waktu dan jenis pekerjaan berpotensi dialami buruh. Penggunaan tenagakerja outsourcing dan alih daya di semua jenis pekerjaan juga bisa terjadi. Potensi waktu kerja eksploitatif, kemudahan masuknya tenaga kerja asing (TKA) di semua lini, dan hilangnya jaminan sosial bisa terjadi.

“Selain itu RUU Cipta Kerja juga berpotensi memudahkan pengusaha dalam melakukan PHK sepihak serta hilangnya sanksi pidana untuk pengusaha yang melanggar aturan ketenagakerjaan,” katanya.

Terkait PHK, Nurudin menegaskan, kondisinya sudah darurat. FSPMI dan KSPI pada umumnya melihat bahwa di tengah pandemi seperti sekarang pengusaha dengan mudahnya melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dengan alasan efisiensi. Padahal, aturan tentang PHK yang mengatasnamakan efisensi dilarang.

“Mahkamah Konstitusi (MK) melalui putusannya nomor 19/PUU-IX/2011 sudah menyatakan, perusahaan tidak bisa melakukan PHK sebelum menempuh sejumlah upaya. Salah satunya, mengurangi mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur,” ujarnya.

Selain itu, MK juga menyarankan perusahaan melakukan sejumlah hal sebelum melakukan PHK. Seperti untuk mengurangi shift, membatasi/menghapuskan kerja lembur, mengurangi jam kerja, mengurangi hari kerja, meliburkan atau merumahkan buruh secara bergilir sementara waktu, tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya, dan memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.

Selain dua isu tersebut, tuntutan lain yang diusung massa aksi kali ini di antaranya menolak diskriminasi program subsidi upah sebesar Rp600 ribu untuk pekerja/buruh. Nurudin bilang, program subsidi untuk pekerja/buruh dengan upah di bawah Rp5 juta itu dirasa diskriminatif dan berdampak timbulnya kecemburuan sosial.

“Karena pekerja/buruh yang mendapatkan subsidi upah itu adalah pekerja/buruh peserta BPJS Ketenagakerjaan yang Badan Usahanya aktif membaya iuran. Faktanya, di lapangan, masih banyak pekerja/buruh yang tidak didaftarkan perusahaan sebagai peserta BPJS Ketenagakeraan dan masih banyak pengusaha nakal yang menunggak iuran. Akhirnya, pekerjanya ibarat pepatah sudah jatuh tertimpa tangga,” katanya.

Massa buruh juga menuntut pemerintah dan DPRD Jatim untuk membentuk Tim Unit Reaksi Cepat (URC) untuk memantau dan memeriksa perusahaan-perusahaan di Jawa Timur yang berpotensi melakukan pelanggaran ketenagakerjaan. Mereka juga menagih janji politik Khofifah Indar Parawansa Gubernur Jatim soal Sistem Jaminan Pesangon pada perayaan hari buruh internasional (May Day) 1 Mei 2019 lalu.

Isu terakhir yang juga akan diangkat dalam unjuk rasa kali ini adalah kenaikan upah minimum 2021 dengan besaran Rp600 ribu. Nominal kenaikan upah ini didasarkan pada program kebijakan pemerintah pusat yang hendak mensubsidi buruh dengan upah di bawah Rp5 juta. “Daripada berupa subsidi, lebih baik berupa kenaikan upah minimum dengan besaran sama,” kata Nurudin.

Perlu diketahui, upah minimum rata-rata Jawa Timur pada 2019 hanya Rp2,4 juta. Dibandingkan ketentuan program subsidi itu, buruh menyimpulkan bahwa upah minimum di Jatim jauh dari kata layak dan sejahtera. Tidak hanya itu, menurut buruh, perlu adanya review komponen KHL (kebutuhan hidup layak) dan survei pasar/KHL (komponen hidup layak).

“Itu perlu dilakukan untuk menentukan kenaikan upah tahun 2021, sehingga kenaikan upah tahun 2021 tidak lagi menggunakan rumusan pertumbuhan ekonomi dan inflasi,” katanya.(den)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Sabtu, 20 April 2024
26o
Kurs