Kamis, 25 April 2024

Pakar HI : Second Home Visa Berikan Potensi Positif bagi Indonesia

Laporan oleh Ika Suryani Syarief
Bagikan
Ilustrasi - Visa dan Passport. Foto: Shutterstock

Direktorat Jenderal Imigrasi Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menerbitkan kebijakan visa rumah kedua (second home visa) bagi warga negara asing (WNA) pada Selasa (25/10/2022) lalu. Kebijakan tersebut diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap perekonomian nasional.

Vinsensio M. A. Dugis Kaprodi Magister Hubungan Internasional Universitas Airlangga (Unair) memandang kebijakan tersebut sebagai potensi yang positif bagi Indonesia.

“Sudah banyak negara menerapkan hal serupa dengan nama dan model yang lain. Banyak potensi positif yang bisa digali dari kebijakan ini, sudah waktunya Indonesia memberikan rumah kedua,” ujarnya saat berbincang dalam program Wawasan Suara Surabaya, Rabu (2/11/2022).

Dia menyebut, selain potensi utama seperti yang dijelaskan oleh pemerintah yakni terkait kepentingan ekonomi, terdapat tiga potensi lain yang dapat diperoleh dari kebijakan tersebut.

“Jumlah diaspora Indonesia di luar negeri semakin banyak. Generasi-generasi baru yang lahir dari diaspora tersebut perlu kita beri peluang kepada mereka (keturunannya) untuk datang kembali ke Indonesia memberi kontribusi kepada Indonesia,” jelasnya.

Kedua, lanjut Dugis, fenomena saat ini dikenal dengan globalisasi keterbukaan. Beberapa tahun belakangan, pekerja lepas contohnya seperti digital nomaden semakin banyak, hingga mencapai sekitar 40 juta jiwa. Pekerja lepas seperti itu adalah generasi yang bekerja terlepas dengan tempat dan waktu. Sehingga para pekerja lepas tersebut juga berpotensi memberi kontribusi ekonomi bagi Indonesia.

“Indonesia perlu lebih cepat memberi kesempatan tempat bagi digital nomaden, dan mereka saya kira juga potensial untuk memberi kontribusi ekonomi. Katakanlah kalau mereka membuka pekerjaan disini, ada proses transfer teknologi yang dilakukan secara tidak langsung tetapi juga ada peluang pembukaan lapangan kerja,” tutur Dugis.

Ketiga, papar Dugis, kebalikan dari diaspora yakni cosmopolitan generation atau anak yang terlahir dengan keterikatan dan kebangsaan dengan Indonesia karena adanya aspek normatif.

“Anak-anak cosmopolit yang mungkin saja dia misal orang Taiwan, tetapi karena orang tuanya lama kerja di Indonesia jadi keterikatan mereka sangat luarbiasa, kebalikan dari diaspora,” katanya.

Dugis mengatakan, masyarakat tidak perlu takut terkait dengan kekhawatiran akan banyaknya WNA yang masuk ke Indonesia, dikarenakan dengan adanya kebijakan tersebut juga tidak akan membuat WNA serta merta datang berduyun-duyun ke Indonesia.

“Saya kira terlalu berlebihan kalau orang sampai ketakutan. Kita perlu belajar dari apa yang dilakukan oleh negara lain. Misalnya di Malaysia awalnya juga begitu, tapi ada prosedur di tingkat operasional atau aturan teknis yang tidak serta merta dibuka, nanti ada peraturan lainnya yang akan dikeluarkan pemerintah. saya kira itu yang akan dilakukan pemerintah,” ujarnya.

Dugis memberikan catatan kepada pemerintah, dengan adanya kebijakan second home visa ini agar tidak ada kepentingan-kepentingan lain yang dapat merugikan negara.

“Selalu ada istilah the bad side of globalitation jadi globalisasi ada sisi gelapnya. Itu yang perlu kita antisipasi, contohnya peluang masuknya transaksi narkoba dan perdagangan manusia. Kejahatan ini bisa saja masuk, menumpang pada moment ini. Karena itu, hal seperti ini juga harus kita antisipasi. Orang yang menggunakan kebijakan ini untuk keperluan yang semestinya. Karena itu misalnya nanti komisi yang mengawasi WNA, regulasi-regulasi terkait investasi itu pastilah nanti ada peraturan di tingkat implementasi yang ketat untuk menyeleksi mana yang boleh mana yang tidak,” pungkasnya.(gat/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Kamis, 25 April 2024
26o
Kurs