Jumat, 24 Mei 2024

Soroti Kasus Angelina Sondakh, Pakar Hukum Unair Dorong UU TPPU Jadi Instrumen dalam Kasus Korupsi

Laporan oleh Agustina Suminar
Bagikan
Angelina Sondakh (tengah) mantan anggota DPR RI berjalan keluar dari Lapas Perempuan Kelas IIA Pondok Bambu, Jakarta Timur, Kamis (3/3/2022). Foto: Antara

Angelina Sondakh resmi bebas dari penjara setelah menjalani pidana kurungan 10 tahun pada Kamis (3/3/2022). Namun pro kontra mengenai pembebasannya mewarnai kasus ini lantaran mantan anggota DPR RI tersebut tidak membayar uang pengganti sebesar Rp4,5 miliar sehingga mendapat hukuman tambahan 4 bulan 5 hari.

Dalam program Wawasan Radio Suara Surabaya, hukuman tambahan empat bulan ini disoroti oleh banyak pendengar. Ada yang tidak percaya bahwa Angie tidak mampu membayar, ada juga yang menganggap hukuman penjara 4 bulan tidak sepadan dengan Rp4 miliar hilangnya uang negara.

“Putusan ini kurang rasional dengan Rp4,5 miliar kalau tidak dibayar diganti 4 bulan. Saya menyampaikan pendapat, hakim dalam menjatuhkan putusan berkaitan uang pengganti, rasionalitasnya harus bermain. Ada disparitas sistem hukum di kita,” kata Ben Hajon pendengar.

“Angie memang nggak punya uang lagi akhirnya ganti badan saja. Tergantung iktikad baiknya. Tapi saya nggak percaya kalau Angie nggak punya uang Rp4 miliar,” kata Abdul Rohim pendengar.

Namun ada juga yang menganggap langkah yang diambil Angie tak lain karena memang ia sudah kehilangan aset.

“Angie tidak bisa melakukan pengganti karena aset sudah habis dan itu pilihan dari Angie. 10 tahun di penjara sudah berat dan terpaksa pilih badan untuk ganti,” kata Priyo yang juga pendengar sekaligus kuasa hukum Universitas Brawijaya Malang.

Menanggapi hal itu, Iqbal Felesiano SH LLM Pakar Hukum Pidana Universitas Airlangga angkat bicara. Ia mengakui, jika membandingkan dengan putusan sebelumnya, memang ada disparitas masa tahanan tambahan yang dijalani Angelina Sondakh.

Angelina Sondakh mendekam di balik jeruji besi sejak 27 April 2012 atas kasus anggaran Wisma Atlet yang menyeret nama Kementerian Pemuda dan Olahraga serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 10 Januari 2013 majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta menjatuhkan vonis berupa hukuman 4 tahun 6 bulan penjara terhadap Angie. Ia juga dihukum denda Rp 250 juta subsider 6 bulan kurungan.

Dalam perjalanannya, di tingkat kasasi Mahkamah Agung (MA) memperberat hukuman Angie. Majelis hakim MA menjatuhkan vonis 12 tahun penjara dan hukuman denda Rp 500 juta.

Dua tahun berselang, Angelina mengajukan Peninjauan Kembali (PK) ke MA. MA mengabulkan permohonan PK tersebut sehingga vonis Angie dikurangi menjadi pidana penjara 10 tahun ditambah denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan.

“Kalau dilihat dari sudut pandang Mahkamah Agung, dari 12 tahun dengan uang pengganti sekitar Rp27 miliar. Dari putusan satu ke lainnya terdapat disparitas yang cukup tinggi,” kata Iqbal kepada Radio Suara Surabaya, Jumat (4/3/2022).

“Saya bisa memahami rasionalitas yang diminta masyarakat kepada hakim, karena ada kasus yang dibawah 100 juta, hukumannya 6 bulan. Tapi kita juga harus menghormati keputusan hakim,” ujarnya.

Ia menilai, itu dikarenakan dalam kasus Angie, tidak menggunakan Undang Undang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU). Apalagi, kasus korupsi pembangunan Wisma Atlet SEA Games 2011 lalu itu melibatkan banyak orang dengan jumlah besar.

“Harusnya dari dulu menerapkan UU TPPU sehingga semua aset dilarikan ke mana, digunakan untuk apa, maka akan banyak sekali yang bisa dikenakan. Saat itu UU TPPU tidak digunakan,” tegasnya.

“Mekanisme UU TPPU harusnya digunakan sebagai salah satu instrumen untuk mengejar aset korupsi ada kerugian negara di sana,” tambahnya.

Sehingga menurut Iqbal juga melihat, instrumen hukum yang digunakan dalam kasus Angie kurang lengkap karena tidak bisa menyeluruh mendeteksi ke mana saja larinya uang korupsi tersebut. Sayangnya, tidak banyak kasus korupsi yang menggunakan instrumen hukum UU TPPU.

Ia juga mendorong UU Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) juga lebih bisa melindungi pelapor. Berkaca dari kasus Nurhayati, yang mana ia melaporkan korupsi APBDes) Citemu, Cirebon, tapi malah dijadikan tersangka. Kasus ini sempat membuat KPK dan LPSK bergerak untuk menuntut keadilan bagi Nurhayati.

Untuk itu, Iqbal menekankan perlunya pengawasan hukum dari hulu sampai hilir agar masyarakat tidak takut untuk berperan dalam pemberantasan korupsi.

“Kita perlu memantau proses keadilan dari hulu sampai hilir apakah ada yang kurang sempurna. Apakah polisi, jaksa sudah menjalankan tugas dengan baik? Dapat alat bukti berdasarkan asas hukum yang benar? Apakah hakim memutuskan dengan mekanisme yang benar? Itu yang harus kita awasi bersama-sama,” kata Iqbal.(tin/ipg)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Evakuasi Kecelakaan Bus di Trowulan Mojokerto

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Kurs
Exit mobile version