Minggu, 19 Mei 2024

Sosiolog: Penerapan Perpres Lahan Sawah Dilindungi di Surabaya Tidak Masuk Akal

Laporan oleh Dhafintya Noorca
Bagikan
Seorang petani sedang menebar pupuk di area persawahannya di Jatim. Foto: Antara

Pakar Sosiologi Pembangunan menyebut bahwa Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Lahan Sawah Dilindungi adalah peraturan yang terlambat dan apabila diterapkan di Kota Surabaya rasanya sudah tidak mungkin.

“Pembangunan di Indonesia sejak awal itu dimulai dari industri bukan pertanian, kalau di Kota Surabaya sendiri sudah banyak tanahnya dimiliki investor jadi sudah tidak mungkin. Secara perhitungan ekonomi juga tidak menguntungkan,” kata Prof. Dr. Musta’in Dosen Sosiologi Universitas Airlangga kepada suarasurabaya.net, Sabtu (23/4/2022).

Lanjut Musta’in, menurutnya Kota Surabaya tidak bisa berkontestasi dalam upaya menjaga ketahanan pangan karena kalkulasi pembangunan dihitung dari berapa nilai tambah satu ruang dan satu lahan.

Ia melanjutkan, saat Kota Surabaya ditanami padi, palawija, dan gabah tidak akan mendapat untung yang besar dan anggaran untuk mendukung progam tersebut harus dikalkulasi juga.

“Apakah ada orientasi keuntungan ekonomi di situ? Tapi kalau Kota Surabaya dibuat industri, keuntungan yang didapat akan lebih besar. Karena rata-rata berkembangnya wilayah di Indonesia memang berdasarkan industri,” katanya.

Sehingga penerapan Perpres No.59 Tahun 2019 dinilai tidak signifikan apabila diterapkan di Kota Surabaya secara pembangunan berkelanjutan.

Menurut Musta’in apabila ingin menerapkan Perpres tersebut seharusnya ditetapkan di wilayah-wilayah yang masih subur dan produktif dari hasil pertanian.

“Itu kan diterapkan di delapan provinsi, ya sudah fokusnya harus dipetakan di wilayah yang masih produktif dari hasil pertanian,” tuturnya.

“Kemudian pemerintah harus memberikan bantuan secara maksimal kepada para petani di sana, supaya gairah untuk menjaga ketahanan pangan itu muncul. Harusnya langkah pemerintah seperti itu,” imbuhnya.

Kata Musta’in langkah kebijakan yang tepat pada sasaran akan lebih mencapai tujuan, ketimbang menggunakan Kota Surabaya sebagai Lahan Sawah Dilindungi yang diprediksi tidak banyak bisa menyumbang sekian persen ketahanan pangan itu sendiri.

Dirinya berpandangan, bahwa Kota Surabaya ini memang dibangun untuk menjadi kota yang menerapkan produktivitas ekonomi modern, jasa, dan industri.

“Tapi ada pengecualian, misalnya di zona tertentu ingin digunakan untuk lahan terbuka hijau itu masih signifikan dan masuk akal. Daripada ketahanan pangan,” imbuhnya.

Dirinya juga menyampaikan kritik bahwa seharusnya dalam peraturan itu Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) harus lebih diperhatikan. Serta penerapan peraturan harus lebih memperhatikan kondisi di lapangan.

Kendati demikian, Musta’in mengapresiasi adanya Perpres Nomor 59 Tahun 2019 tentang Lahan Sawah Dilindungi meskipun dia menilai sudah cukup terlambat apabila untuk mengantisipasi ketahanan pangan.

“Saya apresiasi adanya peraturan untuk mempertahankan ketahanan pangan, meskipun sudah sangat terlambat. Tapai kalau ini dipetakan betul di delapan Provinsi Indonesia masih bisa untuk menyumbang ketahanan pangan,” pungkasnya.(wld/dfn/iss)

Berita Terkait

..
Potret NetterSelengkapnya
Surabaya
Minggu, 19 Mei 2024
30o
Kurs