Jumat, 10 Mei 2024

Supaya Sehat, StartupDisarankan Tidak Perang Diskon Besar-Besaran

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi seorang karyawan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Foto: Pexels

Setidaknya ada 18 perusahaan digital atau startup di sepanjang tahun 2022, yang mengambil langkah untuk melakukan pemutusan hubungan kerja (PHK) massal.

Gelombang PHK massal yang dilakukan perusahaan-perusahaan tersebut, alasannya yakni efisiensi keuangan hingga minimalisir ancaman resesi pada tahun 2023 mendatang.

Menurut Bima Yudhistira Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios) sejauh ini industri digital di Indonesia, banyak didanai oleh investor dari negara yang terdampak resesi.

Selain faktor tersebut juga ada pengaruh lain seperti persaingan perusahaan e-commerce yang kurang sehat dengan cara bakar-bakar uang untuk diskon besar-besaran demi menarik konsumen baru.

“Jadi ini lingkaran setan. Pendanaan berkurang, promo diskon banyak yang dikurangi, sehingga akhirnya konsumen pembelian secara online kembali ke fisik.  Apalagi Pandemi Covid-19 mereda, konsumen balik lagi belanja langsung ke toko,” jelasnya dalam program Wawasan Suara Surabaya.

Menurut dia, sudah tidak saatnya lagi, startup bakar-bakar duit dengan diskon besar-besaran. Daripada perang diskon harusnya B to B saja, beli dari warung yang menjual di e-commerce. Cara itu lebih menguntungkan daripada memanjakan dengan diskon besar dimana konsumen sekarang juga tidak loyal lagi.

Selain itu, startup yang sebelumnya bergerak di bidang pendidikan secara daring (online), terdampak sangat besar dengan mulai diberlakukannya pembelajaran secara tatap muka.  Bima menyebut, hal tersebut tentu mempengaruhi pendapatan dan keuangan perusahaan. Mau tidak mau, kata dia, perusahaan harus melakukan beberapa cara untuk efisiensi.

Saat ini investor sendiri, lebihi memilih ke sektor riil, dia mencontohkan investor Amerika Serikat yang terkena stagflasi (periode ketika inflasi dan konstraksi ekonomi terjadi secara bersamaan), saat ini cenderung menjauhi investasi di pasar teknologi.

Sementara itu soal perusahaan startup yang terancam maupun sudah gulung tikar, disebut Bima sebagai hal yang normal karena masuk seleksi alam. Menurutnya, startup yang bisa bertahan selama dua tahun lebih, presentasenya hanya tujuh puluh persen sisanya tumbang.

“Seleksi alam, setiap tahun selalu ada startup yang tumbuh maupun bangkrut itu sudah biasa. Tapi permasalahannya, startup yang terguncang justru yang punya valuasi besar. Harusnya sudah mulai hitung profit dan sebagainya, tapi karena strategi bakar uang berlebihan akhirnya sekarang terancam,” paparnya.

Di dunia fintect, regulasi dari Pemerintah punya andil besar, misal kepada pertumbuhan dompet digital.

“Sebelunya transaksi dompet digital stabil bahkan naik, tapi setelah Bank Indonesia mengeluarkan kebijakan Q-ris, sekarang banyak orang transaksi digitalnya pakai mobile banking (m-banking), dan Q-ris. Akhirnya dompet digitalpun mulai ditinggalkan,” terangnya.

Sementara soal nasib karyawan korban PHK, Bima berharap pemerintah segera mengambil peran untuk menciptakan lapangan kerja baru, apalagi saat ini pemerintah masih kekurangan sembilan juta tenaga kerja yang ahli di bidang teknologi digital.

“Contohnya mereka yang di PHK GoTo dan ‘Ruang Guru’, itu bisa diserap aja oleh pemerintah untuk membangun digitalisasi di seribuan lebih perusahaan anak cucu BUMN. Demikian juga pemerintah daerah bisa ambil, karena semuanya bergerak di bidang digitalisasi, pasti dibutuhkan” ujarnya.

Menurutnya, langkah tersebut lebih bijak daripada harus meng-hire karyawan baru dan melakukan training mulai dari awal. “Bisa mengefisiensi biaya juga,” pungkasnya. (bil/rst)

Berita Terkait

Pakar: PHK GoTo Bukan Karena Dampak Resesi

GoTo Lakukan PHK Massal 1300 Karyawan


..
Potret NetterSelengkapnya

Massa Hari Buruh Berkumpul di Frontage Ahmad Yani

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Surabaya
Jumat, 10 Mei 2024
29o
Kurs