Minggu, 28 April 2024

Guru Besar Sosiologi: Kembalikan Esensi Wisuda Untuk Perguruan Tinggi

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi wisuda mahasiswa. Foto: Grafis suarasurabaya.net

Tradisi wisuda yang umumnya terkait dengan tingkat pendidikan yang lebih tinggi, seperti sarjana, magister, atau doktor, saat ini menjadi tren kelulusan di jenjang pendidikan awal, seperti Taman Kanak-Kanak (TK), Sekolah Dasar (SD), dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Fenomena ini disebut-sebuh membuat marwah wisuda sedikit merosot.

Mengingat, wisuda sebagai simbol penting untuk menandai akhir dari masa belajar formal dan memasuki dunia kerja atau jenjang pendidikan yang lebih tinggi. Namun, belakangan ini, wisuda di jenjang pendidikan awal semakin populer sehingga mengaburkan makna wisuda itu sendiri.

Prof. Dr. Nur Syam Guru Besar Sosiologi Universitas Islam Negeri Sunan Ampel (Uinsa) menyebut kegiatan wisuda yang lengkap dengan Toga, alangkah baiknya hanya disematkan kepada mahasiswa yang menyelesaikan jenjang pendidikan di perguruan tinggi.

Menurut Prof. Syam, wisuda mengandung marwah yang sakral, didalamnya ada dimensi pencapaian secara akademis di perguruan tinggi. Apalagi Mahasiswa yang diwisuda, sebelumnya telah terlebih dahulu menyelesaikan penelitian atau studi mendalam, hingga akhirnya dinyatakan lulus.

Mereka terlebih dahulu harus menyelesaikan penelitian dalam bentuk skripsi untuk strata 1, dan harus menyelesaikan penelitian masing-masing dalam bentuk tesis dan disertasi untuk gelar magister serta doktor. Dan ini sangat berbeda dengan pencapaian pendidikan dari sekolah ke sekolah.

Karenanya lah, wisuda seringkali disebut sebagai bentuk reward atas pencapaian akademis yang lebih kompleks dan menandai awal dari karir profesional wisudawan.

“Wisuda itu konsepnya untuk memberikan penandaan terhadap siapa saja yang secara akademis berhasil menyelesaikan sebuah penelitian dalam hal ini di perguruan tinggi. Karena itu pakai toga, kemudian pemindahan kuncir (tali topi toga) dari kiri ke kanan, itu (sebetulnya) untuk menandai kalau yang bersangkutan sudah berhasil melalui jenjang pendidikan tinggi itu. Tapi kalau untuk anak-anak ini (TK-sekolah), sifatnya hanya semacam hiburan atau euforia saja, dan kadang untuk menandai prestasi non akademis mereka selama bersekolah,” kata Syam, saat mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, Senin (19/6/2023).

Maka dari itu, lanjutnya, kalau ada jenjang pendidikan yang ingin menggelar perpisahan/seremoni kelulusan alangkah baiknya di lakukan penyesuaian.

Dia mencontohkan untuk sekolah yang punya bassic keagamaan agar melaksanakan kegiatan religius, maupun pentas seni atau upacara kelulusan untuk sekolah umum. Jadi, tidak melulu harus melakukan wisuda.

Dari sisi sudut pandang sebagai Guru Besar sebuah perguruan tinggi, Syam juga mengungkapkan ada kebanggaan sekaligus tanggung jawab yang sangat besar ketika me-wisuda seorang mahasiswa.

“Bagi kami mewisuda mahasiswa ada dimensi tanggung jawab, karena problem selanjutnya setelah menyelesaikan pendidikan kuliah adalah bagaimana mereka (mahasiswa) punya tanggung jawab terhadap diri sendiri, keluarga dan masyarakat. Jadi pikiran kami (dosen/guru besar) adalah mahasiswa ini habis lulus mau kemana? usaha apa? dan sebagainya, ini betul jadi beban pikiran kami. Selain itu ada kebanggan kami mengantarkan para mahasiswa, kami sebagai guru besar dan pimpinan perguruan tinggi, merasakan kesakralan wisuda,” ungkapnya.

Berbeda dengan pengajar di level sekolah, kata Syam, di level sekolah, guru menyiapkan/meluluskan siswa-siswi agar bisa melanjutkan ke jenjang pendidikan lebih tingggi, maka dosen/guru besar menyiapkan dan me-wisuda mahasiswanya agar bisa dilepas ke dunia kerja dan berguna untuk masyarakat.

“Kalau diibaratkan, sekolah ini terminal atau stasiun tujuan antara. Tapi kalau perguruan tinggi ini adalah terminal akhirnya sebelum mereka dilepas ke masyarakat,” ucapnya.

Menurut Guru Besar Sosiologi Uinsa itu, yang urgent bukan me-wisuda anak/pelajar tingkat TK-sekolah, tapi membekali mereka dengan pelajaran etika dan budi pekerti.

“Bolehlah kita melakukan kegiatan perpisahan tertentu, tapi jangan menyerupai wisuda di perguruan tinggi. Prinsipnya jangan memberatkan juga, karena tidak semua masyarakat kita kelompok yang secara ekonomis mampu. Nanti timbul kecemburuan juga, kalau sekolah maju dan kaya raya bisa wisuda, tapi kalau yang biasa saja tidak diwisuda. Itu hal-hal yang secara fungsional tidak terlalu mendasar juga,” pungkasnya.

Sekadar diketahui, dalam diskusi Program Wawasan Suara Surabaya (SS), Senin (19/6/2023) hari ini yang mengangkat topik tentang “Mengembalikan Marwah Wisuda”, banyak diantara pendengar yang sependapat bahwa prosesi wisuda sebaiknya dikembalikan pada konsep awal, yaitu hanya untuk kelulusan mahasiswa.

Saya lebih berpendapat wisuda itu karena puncak pencapaian tertinggi. jd lbh tepatnya wisuda ya setelah selesai menyelesaikan akademik kita dan menuju perjuangan yg nyata yaitu bekerja mempraktekkan ilmunya.krn selama adanya wisuda di jenjang paud SD SMP SMA jarang ada panggung perpisahan atau panggung seni melepas murid yg lulus.sedang panggung itu sarat kreatifitas dr murid2 seperti penampilan seni2 dr murid2 tersebut yg sangat bnyk manfaatnya.jd lbh baik gk ada wisuda selain lulus perguruan Tinggi,” tulis Kusni pendengar SS.

Sementara menurut Widodo pendengar SS lainnya, wisuda merupakan pencapaian setelah pendidikan di tingkat tertinggi, yakni “perguruan tinggi”.

Saya lebih berpendapat wisuda itu karena puncak pencapaian tertinggi. jd lbh tepatnya wisuda ya setelah selesai menyelesaikan akademik kita dan menuju perjuangan yg nyata yaitu bekerja mempraktekkan ilmunya. krn selama adanya wisuda di jenjang paud SD SMP SMA jarang ada panggung perpisahan atau panggung seni melepas murid yg lulus. sedang panggung itu sarat kreatifitas dr murid2 seperti penampilan seni2 dr murid2 tersebut yg sangat bnyk manfaatnya.jd lbh baik gk ada wisuda selain lulus perguruan Tinggi,” jelasnya.

Adapun beberapa pendengar lain yang beranggapan kalau wisudah untuk jenjang TK sampai sekolah sah-sah saja, asalkan tidak menggunakan toga.

Menurut sy istilah wisuda dan toga yg harus ditiadakan untuk anak sekolah jenjang TK-SMA dan tdk ada masalah diadakan acara pelepasan atau purna siswa, karena sy yakin sebelum diadakan acara pasti sdh dibicarakan terlebih dahulu oleh pihak sekolah dan orang tua murid . Pengalaman pribadi kedua anak saya TK -SMA tdk pernah memakai toga saat kelulusan. Jadi momen kelulusan sekolah sy setuju diadakan karena akan menjadikan memori dan kenangan tersendiri. Terimakasih,” tulis Giono Sutrisni pendengar SS.

Selamat pagi SS. Tidak ada yang salah dengan acara Wisuda SD smpe SMA, yang tidak tepat adalah penggunaan ToGAnya karena busana tsb mmg baju sakral utk Lulusan Sarjana. Mungkin utk tingkat dibawahnya boleh wisuda tapi tanpa Toga (misal tetep baju seragam tapi dilengkapi Topi wisuda saja). Terimakasih,” tulis Budi Waluyo pendengar SS. (bil/rst)

Berita Terkait

Potret NetterSelengkapnya

Motor Tabrak Pikap di Jalur Mobil Suramadu

Mobil Tertimpa Pohon di Darmo Harapan

Pagi-Pagi Terjebak Macet di Simpang PBI

Surabaya
Minggu, 28 April 2024
29o
Kurs