Dalam beberapa tahun belakangan muncul fenomena orang tua memasukkan anaknya ke jenjang sekolah dasar (SD) sedini mungkin.
Bahkan, ada yang ingin memasukkan anaknya di usia 4,5 tahun, hanya karena khawatir anaknya terlalu tua waktu masuk SD.
Mereka juga merasa anaknya siap masuk sekolah dasar karena sudah bisa membaca, menulis, dan berhitung (calistung).
Terkait tren itu, Siti Masitoh Guru Besar Fakultas Ilmu Pendidikan Universitas Surabaya (FIP Unesa) mengatakan sah-sah saja.
Tapi, menurutnya orang tua juga sebisa mungkin memperhatikan faktor lain seperti kesiapan mental anak yang disekolahkan di usia dini.
“Ketika anak punya tingkat intelegensi (IQ) tinggi di atas 130, sangat mungkin itu (disekolahkan di usia dini) dari sisi kognitif karena dia punya bakat bawaan. Tapi, yang harus jadi pertimbangan adalah, apakah dia (anak) sudah matang dari sisi lain seperti emosionalnya? itu yang harusnya jadi kata kunci,” ujarnya dalam program Wawasan Suara Surabaya, Senin (5/6/2023).
Pemerhati Pendidikan itu menjelaskan alasan pemerintah menetapkan batasan syarat masuk SD minimal tujuh tahun untuk anak, sudah berdasarkan penelitian berkelanjutan dan teori para ahli yang sudah dilakukan lebih dari 10 tahun.
“Jadi (batas usia) tujuh tahun itu (ditentukan para ahli) sebagai ancer-ancer (berdasarkan penelitian) saja ya. Disarankan tujuh tahun, karena dari aspek pengembangan yang sebelumnya dilakukan di TK (taman kanak-kanak), di usia tujuh tahun itu (mental) anak sudah berkembang secara harmoni,” terangnya.
Dari sisi sosial dan emosional, dia menyatakan anak yang disekolahkan di usia terlalu dini biasanya ada kecenderungan tidak peduli dengan orang lain. Hal itu dikarenakan anak-anak tersebut dianggap belum matang dari segi bersosialisasi.
Selain itu, bisa memicu kecenderungan semangat dan minat belajar yang menurun. “Karena masa usia empat tahun itu bukan untuk belajar, tapi mengembangkan sosial, emosional, motorik dan sebagainya,” ungkapnya.
Menurutnya kemampuan kognitif juga tidak selamanya paling dicari saat memasuki dunia kerja. Dia bercerita pernah ada kasus pelamar pekerjaan yang unggul dalam kognitif justru tidak diterima suatu perusahaan.
Alasannya, perusahaan khawatir calon pelamar tersebut akan sulit beradaptasi. Sehingga, tidak optimal dalam bekerja.
“Perusahaan justru menerima seseorang yang kognitifnya tidak terlalu bagus, tapi punya kemampuan sosial/emosional dan interpersonal yang bagus sehingga diyakini mudah beradaptasi,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan dalam teori Gentner pada tahun 2012, disebutkan ada banyak kemampuan selain kognitif yang bisa dikembangkan pada anak sebelum mulai disekolahkan. Di antaranya, kemampuan bahasa, motorik, sosial emosional, numerik, logika dan sebagainya.
Selain itu, banyak teori yang menyebutkan kalau anak usia tujuh tahun merupakan yang standar dan dinilai sudah cukup matang untuk disekolahkan.
Guru Besar FIP Unesa itu juga menegaskan kalau teori-teori tersebut diterapkan di banyak negara, tidak hanya di suatu tempat/negara saja. Sehingga, menjadi grand theory dan bukan substantif.
“Grand Theory itu artinya gabungan dari teori-teori sejenis, yang sama-sama melakukan penelitian sejenis dan dikaitkan antar temuan. Maka, setiap teori soal perkembangan pendidikan akan relevan satu sama lain dengan kondisi secara umum. Jadi kalau ada psikolog Indonesia menyampaikan teori soal pendidikan, kalau diklarifikasi dengan teori lain dari luar negeri, maka benang merahnya tetap sama,” pungkasnya. (bil/rid)