Minggu, 16 Juni 2024

Indonesian Health Observer Jatim Bakal Usulkan Rumusan Solusi Tekan Kasus Resisten Antibiotik ke Pemerintah

Laporan oleh Meilita Elaine
Bagikan
Seminar gabungan organisasi profesi membahas pengendalian kasus resistensi antibiotik, Rabu (22/5/2024). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Indonesian Health Observer (IHO) Jawa Timur bakal mengusulkan sejumlah usulan solusi menekan kasus resisten antibiotik ke pemerintah.

Prof Budi Santoso Ketua IHO Jatim sekaligus Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga menyebut, langkah awal menggandeng beragam profesi apoteker, dinas kesehatan, rumah sakit, untuk mengendalikan penggunaan antibiotik yang tidak membahayakan masyarakat.

“Seperti tahun 1929 saat ditemukan antibiotik oleh Alexander Flaming ternyata dalam perjalanannya penggunaan antibiotik ini secara masif, secara tidak terkendali, akibatnya terjadi resisten. Penemuan obat antibiotik yang baru tidak secepat munculnya resistensi-resistensi yang ada. Akhirnya kalau sampai resisten akan membuat kondisi yang sama sebelum ditemukan antibiotik. Itu yang dicegah,” kata Prof Bus usai menggelar seminar membahas pengendalian resistensi antibiotik, Rabu (22/5/2024).

Prof Budi Santoso Dekan FK Unair sekaligus Ketua IHO Jatim, Rabu (22/5/2024). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Tujuan akhirnya, selain dokter yang harus sesuai memberikan antibiotik, masyarakat juga tidak boleh membeli antibiotik secara sembarangan di pasaran.

“Intinya kita harus bersama-sama, kalau dari sisi kedokterannya saja tapi kalau dari sisi yang lain menjual bebas di apotek di online shop kan percuma. Harus sama-sama bergerak,” tandasnya.

Terpisah, Dokter Hari Paraton Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan 2014-2021 menyebut, angka kasus resisten antibiotik dari tahun ke tahun meningkat.

“Di 2017 60 persen, sekarang 68 persen. Tren meningkat ini lah yang harus kita atasi karena dia memberi dampak negatif ke kesehatan, biaya perawatan membengkak, saat sembuh pun dia tidak sempurna, sehingga produktivitas kerja juga akan menurun. Dampaknya luar biasa,” bebernya.

Dokter Hari Paraton Ketua Komite Pengendalian Resistensi Antimikroba (KPRA) Kementerian Kesehatan 2014-2021, Rabu (22/5/2024). Foto: Meilita suarasurabaya.net

Penyebabnya, masyarakat yang membeli antibiotik dijual bebas di pasaran tanpa resep dokter. Selain itu dokter salah memberi antibiotik hanya dengan menduga-duga.

“RS yang keliru dan dokter yang menduga-duga saja, bisa menyebabkan bakteri makin ganas. Harus dicari bakterinya apa. Dia gak tahu bakterinya apa. Orang sakit harus dapat akses yang benar,” imbuhnya.

Untuk mengatasinya, harus ada regulasi kuat yang sekarang sedang digodog pemerintah.

“Harus ada regulasi resmi yang sedang digodog. Persepsi cepat sembuh itu yang kurang tepat. Tiap ke dokter ada antibiotik, itu yang salah, akan kita perbaiki,” paparnya. (lta/ipg)

Berita Terkait

..
Surabaya
Minggu, 16 Juni 2024
26o
Kurs