Minggu, 1 Desember 2024

Keluarga Pelaku Judi Dapat Bansos, Pakar Hukum Pidana: Logikanya Membingungkan, Tidak Jelas!

Laporan oleh Billy Patoppoi
Bagikan
Ilustrasi amplop berisi uang bantuan sosial. Foto: iStock

Usulan Muhadjir Effendy Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) supaya keluarga pelaku judi online dapat bantuan sosial (bansos), justru dikritik habis-habisan dari berbagai pihak.

Baik masyarakat, pengamat, pakar, sampai anggota legislatif mulai DPR hingga MPR, hampir semuanya sepakat kalau usulan tersebut benar-benar tidak tepat. Pemberian bansos dinilai bisa membuka peluang yang bersangkutan tidak bertaubat, namun justru makin bersemangat karena merasa dapat fasilitas berupa suntikan modal.

Kalau menurut Dr. Priyo Djatmiko Dosen Fakultas Hukum Pidana Universitas Brawijaya (UB) Malang, program yang diusulkan Muhadjir ini logikanya membingungkan dan tidak jelas.

“Gini loh, program ini gak jelas ya, landasan nalarnya itu tidak jelas. Logika berpikirnya juga agak membingungkan. Karena orang judi itu kan punya uang, punya modal, cuma disalah gunakan,” kata Muhadjir waktu mengudara di program Wawasan Suara Surabaya, yang membahas soal “polemik usulan korban judi online dapat bansos pemerintah”, Senin (19/6/2024).

Kriminolog UB itu menegaskan bahwa judi online merupakan salah satu bentuk perbuatan melanggar hukum, seperti tertera dalam Pasal 303 Kitab Hukum Undang-Undang Pidana (KUHP), serta yang terbaru di Pasal 27 Undang-Undang No 1 Tahun 2024 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).

Dalam Pasal 27 itu disebutkan, setiap orang dilarang dengan sengaja dan tanpa hak mendistribusikan dan/atau mentransmisikan Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik, dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum.

Karenanya, kalau sampai akhirnya diberikan bansos, meski kepada pihak keluarga pelaku judi online yang kemudian disebut sebagai korban, Priyo menyebut negara seakan-akan memberikan legitimasi.

“Artinya orang judi diberi fasilitas. Keluarga yang jadi korban judi bapaknya misalnya, tanggung jawabnya dari bapaknya malah di tanggung negara. Sehingga itu memberi legitimasi mengesahkan judi, padahal itu perbuatan melawan hukum,” tegasnya.

Priyo kemudian menjelaskan dari kaca mata hukum, judi ada dua jenis. Pertama, judi tingkat menengah kebawah yang sering dilakukan di kampung-kampung dalam berbagai bentuk, salah satunya judi online. Serta yang kedua, judi tingkat atas yang melibatkan kelas menengah keatas seperti di kasino-kasino.

Dia juga khawatir, pemberian bansos kepada keluarga pelaku judi online semakin membuat orang-orang dari kelas menengah kebawah tergiur untuk melakukan perilaku menyimpang tersebut. Alasannya, jika kalah, maka negara akan hadir memberikan uluran tangan berupa bantuan sosial.

Menurutnya, cara untuk mengatasi permasalahan judi online yang terus-terusan membuat pelaku terjerumus ketagihan ini, yakni intens melakukan pemblokiran situs.

“Kalau pemerintah sekarang mau memblokir Twitter atau X itu yang membolehkan konten pornografi di medianya, nah ini ada 5.000 situs judi online, kenapa tidak ikut diblokir saja,” ucapnya.

“Itu tugas Kemenkominfo untuk mematikan itu (memblokir situs judi online), memang lembaga itu dibuat untuk mengontrol itu kok,” sambungnya.

Sementara soal langkah Kementerian Kominfo yang saat ini sedang intens mengirim SMS kepada masyarakat, menurutnya tidak cukup sampai disitu saja. Menurutnya, pemerintah harusnya punya dua cara yang bisa dilakukan untuk memberikan efek jera hingga edukasi.

Pertama, melakukan penghukuman baik bagi bandar maupun para pelaku judi online, bukan justru memberikan support modal berupa bansos kepada keluarganya. Sementara cara kedua, sekaligus untuk menanggulangi kejahatan yaitu meninggikan kesejahteraan ekonomi masyarakat, menggratiskan pendidikan, hingga menciptakan lapangan pekerjaan.

Apalagi, para pelaku judi online kebanyakan berasal dari rakyat ekonomi menengah kebawah. Kalau dalam kriminologi, lanjutnya, seseorang melakukan kejahatan semata-mata karena faktor kesejahteraan yang kurang terpenuhi. Menurutnya, saat ini bantuan kesejahteraan dinilai masih belum cukup di mata masyarakat.

“Tapi memang negara kita mampunya hanya sampai begitu. Makanya kebacut seng korupsi iku (keterlaluan yang korupsi itu–red). Makanya lebih baik sekarang pendekatannya jangan bansos, tapi nilai bansos itu diciptakan untuk membangun latangan pekerjaan yang lebih bermutu,” pungkasnya. (bil)

Berita Terkait

Surabaya
Minggu, 1 Desember 2024
26o
Kurs