
Pemerintah berencana untuk memasukan memasukkan bahasa isyarat ke dalam kurikulum pendidikan. Hal ini disampaikan Pratikno Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) awal Agustus lalu.
Menko PMK kala itu menuturkan bahwa bahasa isyarat akan diajarkan kepada peserta didik, agar komunikasi inklusif antara masyarakat dan penyandang disabilitas dapat terwujud.
Menanggapi hal ini, Yanda Maria Elsera Sinaga Juru Bahasa Isyarat (JBI) Indonesia Bisindo Surabaya menyambut baik wacana itu. Dia menilai, wacana ini bisa jadi langkah maju bagi inklusivitas di Indonesia, sekaligus peluang bagi teman-teman tuli untuk berkembang.
“Setahu saya memang dengan adanya wacana seperti ini, bisa jadi ini kesempatan untuk teman-teman tuli yang mungkin sekarang sulit mendapatkan pekerjaan atau ingin melanjutkan pendidikan lebih tinggi. Mereka akhirnya bisa melanjutkan ini menjadi guru ataupun pengajar. Jadi kesempatan yang baik untuk teman-teman tuli untuk berkembang,” ujar Yanda kepada Radio Suara Surabaya, Minggu (7/9/2025).
Menurutnya, selama ini aksesibilitas komunikasi untuk penyandang tuli lebih banyak difokuskan di media atau layanan publik, sementara pendidikan formalnya masih tertinggal.
“Di sekolah-sekolah pun, walaupun itu sekolah luar biasa, tidak ada pendidikan kurikulum terkait bahasa isyarat. Jadi harapannya ke depan bukan hanya aksesibilitas untuk media, tapi komunikasi secara nyata bisa dilakukan langsung sama teman-teman Tuli. Jadi mereka enggak merasa tertinggal atau termarginalkan,” jelasnya.
Meski begitu, Yanda menekankan bahwa dalam etik yang ada, sosok yang paling berhak menjadi pengajar bahasa isyarat yaitu dari komunitas tuli sendiri.
“Kalau saya sebagai teman dengar hanya bisa menjuru bahasa isyarat. Tapi untuk mengajarkan jadi guru, mentor kelas bahasa isyarat itu harus teman-teman Tuli itu sendiri. Karena memang di Indonesia masih belum ada jurusan pendidikan bahasa isyarat. Jadi yang punya hak mengajarkan itu harus dari orang yang mempunyai bahasa isyarat itu sendiri,” terang Yanda.
Ia juga mengingatkan, tantangan terbesar untuk memasukkan bahasa isyarat ke kurikulum, tak lain adalah kebutuhan sumber daya manusia (SDM).
“Jadi tantangannya memang harus sumber daya manusia teman Tuli yang harus didorong untuk nantinya bisa menjadi mentor dan juga guru. Karena mereka yang punya bahasa isyarat itu sendiri,” tegasnya.
Terakhir, dia berharap jika bahasa isyarat resmi masuk ke kurikulum nasional, maka komunikasi antara masyarakat umum dengan teman tuli bisa lebih inklusif.
“Kalau nanti sudah ada kurikulum nasional, bukan hanya sekadar aksesibilitas di media, tapi juga di sekolah-sekolah. Jadi komunikasi bisa langsung, inklusi bisa tercapai,” pungkasnya. (bil/iss)